Beribu Abu

Enyah Resah
2 min readMay 14, 2023

--

Jalan lurus diselimuti kabut, from unsplash

Hari ini, langit seolah berbicara kepadaku, membisikkan kata-kata hangat yang begitu menenangkan. Senyumanku hampir tak bisa lepas sejak saat itu. Namun, rupanya hal itu tak bertahan lama, tidak seawet yang kubayangkan.

Pudarnya bukan tanpa alasan, bukan pula karena luka mendalam, hanya sebuah kekecewaan atas ekspektasi yang tak berhasil diwujudkan. Sebenarnya, ada hal-hal yang justru berada di luar ekspektasi, membawa kebahagiaan yang teramat sangat. Namun, jika bayarannya begitu “mahal”, apakah itu layak diperjuangkan?

Sesungguhnya, hingga kini, aku pun masih bertanya-tanya mengenai banyak hal: mulai dari hal-hal sederhana, hingga hal-hal kompleks sekalipun. Aku tak membenci perasaan ini, sungguh, ini manusiawi. Aku sungguh menikmati prosesnya. Tak mengapa, semua ‘kan baik-baik saja, bukan?

Lagi-lagi, aku ingin menyematkan kata ‘namun’ dalam tulisan ini. Namun, jika pertanyaan itu terus berputar tanpa jawaban, sampai kapan aku bisa menahan rasa penasaran ini? Sampai kapan aku harus menunggu jawaban-jawaban itu tiba? Berapa lama lagi aku harus menahan diri untuk tidak langsung turun tangan menjemputnya? Lantas, apa yang harus kuperbuat saat ini?

Ada banyak opsi. Ya, aku tahu itu, tetapi dengan keadaan yang demikian adanya, apa bisa?

Beribu abu menyelimuti, menggeser warna-warni lembut yang semula menghiasi kertas putih nan suci itu. Beribu abu menghampar, menggusur udara segar yang semula bertebaran dengan nyamannya. Beribu abu mendatangi, memeluk erat, menyematkan luka-luka baru, luka kecil yang entah kapan akan dapat disembuhkan dengan sempurna. Setidaknya, mendekati sempurna.

--

--

Enyah Resah
Enyah Resah

Written by Enyah Resah

Tulis, tulis, tulis! Apapun, demi mengurai pikiran-pikiran yang tak jemu menghantui hari-hari sunyi.

No responses yet