Bukan Platform Biasa

Enyah Resah
3 min readOct 13, 2023

--

Poster ‘The Platform’, from Tribun News Wiki

Sebagai mahasiswi jurusan Sistem dan Teknologi Informasi, kata platform merupakan istilah yang sering didengar dan ditemukan dalam kegiatan belajar mengajar di kampus. Platform yang dimaksud dimaknai sebagai pondasi pengembangan hardware atau software yang menggerakkan suatu aplikasi atau layanan. Hal ini memicu rasa penasaran ketika melihat film berjudul ‘The Platform’ dengan genre thriller.

Membaca sinopsis singkat, aku justru maju-mundur melanjutkan niat menonton film ini. Hingga akhirnya, kuputuskan tetap mencoba menontonnya. Namun, aku tidak benar-benar menonton film ini seutuhnya karena di dalamnya terdapat adegan-adegan yang dirasa kurang pantas ditonton — apalagi menontonnya sambil menikmati hidangan manis, sungguh bertolak belakang dengan rasa yang kudapat dari makanan ini. Alhasil, ketika ada tanda-tanda adegan tertentu akan berlangsung, aku menurunkan layar laptopku sehingga aku tidak lagi dapat melihat adegan film yang tersaji pada layar laptop.

Sebenarnya, ending film ini kurang menjawab segala tanya yang makin berkembang seiring ditontonnya film. Di dalam film ini, karakter ‘asli’ manusia diperlihatkan, kerakusan dan ketamakan di mana-mana, prinsip mendahulukan kepentingan orang lain dibanding kepentingan pribadi hampir tak ada harganya. Dunia seolah kembali pada zaman purba, kanibalisme bukanlah hal baru, daging dan darah berhamburan di tembok ruangan pun dianggap hal wajar.

Setiap karakter dalam film ini begitu unik, bahkan cenderung memiliki watak bertolak belakang. Tak jarang, percakapan di dalamnya membuat penonton bingung, dalam artian menyimpan terlalu banyak tanda tanya. Ketidaktahuan menjadi pedang yang mampu menghilangkan nyawa seseorang. Kebohongan dan kejujuran hampir tak bisa dibedakan. Tak ada lagi satupun orang yang dapat dipercaya.

Goreng, julukan sang tokoh utama yang diceritakan sepanjang film, disatukan dalam sebuah ruangan bersama beberapa orang secara bergantian, mulai dari seorang kakek yang tanpa sengaja membunuh orang lain setelah melihat iklan pisau di televisi, wanita tua penyintas kanker yang rupanya pernah bertemu sang pria sebelum masuk ke dalam ‘hole’ — tempat ‘penyiksaan’ terjadi, hingga seorang pria berkulit hitam yang begitu optimis dengan kepercayaan penuh terhadap Tuhan.

Hole dalam film ini terdiri atas beberapa level. Setiap level yang dilalui bersama orang-orang tersebut menyimpan cerita berbeda, mulai dari pasang surut membuka diri dan mulai beradaptasi dengan keadaan, terbentuknya solidaritas tinggi yang rupanya tetap saja ‘runtuh’ pada masa-masa sulit, bentuk pengorbanan yang tak seharusnya, hingga kolaborasi demi mencapai tujuan bersama. Niat menahan diri dari perbuatan buruk perlahan-lahan runtuh seiring dengan semakin kritisnya kemampuan diri dalam bertahan hidup.

Pada akhirnya, nyawa seseorang tak lagi terlihat berharga, hanya nyawa diri sendiri yang menjadi sorotan utama. Meski demikian, rupanya setitik kemanusiaan masih tersimpan dalam diri beberapa orang, kebaikan masih belum benar-benar sirna. Hal inilah yang membawa sang tokoh utama menemukan misteri yang selama ini ingin dipecahkan, membawanya bertemu dengan orang-orang tak terduga, mengumpulkan keberanian untuk terjun mendekati risiko dan meninggalkan ‘surga dunia’.

Dari film yang begitu menegangkan ini, rupanya tersimpan beberapa pelajaran berharga, seperti pada dasarnya, meski pernah dihadapkan dengan situasi sulit, ketika telah mencapai level kebahagiaan tertentu, umumnya manusia lupa dengan segala kesengsaraan yang pernah mereka alami, mereka sama saja dengan orang-orang yang dahulu mereka benci — orang-orang tamak, rakus, dan sombong yang berada di level atas.

Kehidupan berputar seperti roda benar adanya, tak ada yang tahu kapan kita akan berada di atas dan mencapai level kebahagiaan yang kita damba, begitu pun sebaliknya. Tak ada ruginya mengulurkan tangan untuk membantu seseorang, bisa jadi orang tersebut akan menjadi penyelamat kita pada kemudian hari, pada masa-masa kritis saat kita merasa tak berdaya.

Di sisi lain, harapan merupakan salah satu ‘pegangan’ berharga yang menjadi alasan seseorang mampu bertahan hidup, menahan segala keinginan kuat untuk mengakhiri hidup karena merasa tak lagi sanggup menahan segala cobaan yang akan datang. Selain itu, harapan tersebut akan semakin mendekat pada kenyataan apabila kita terus berusaha. Terkadang, mimpi tertunda menjadi kenyataan hanya karena sebuah keputusasaan. Padahal, dengan satu langkah terakhir, segala kerja keras akhirnya dapat terbayar.

Meski dengan ending menggantung, pada akhirnya, makna platform yang diangkat sebagai judul film akhirnya terungkap, sungguh jauh berbeda dengan apa yang selama ini dipelajari di kelas. Platform dalam film merupakan hal sederhana yang dapat memicu kesengsaraan sekaligus kebahagiaan — sesuai dengan point of view saat menemukan platform tersebut.

Seperti logo pada pojok kiri atas yang tercantum pada poster film di atas, film ini dapat kamu tonton di Netflix. Sedikit saran, jangan menonton film ini sambil menikmati hidangan karena beberapa adegan film bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan selera makanmu. Disclaimer, adegan yang tersaji dalam film ini mungkin dapat mempengaruhi kondisi psikologismu, harap bijak dalam menonton, ya!

--

--

Enyah Resah
Enyah Resah

Written by Enyah Resah

Tulis, tulis, tulis! Apapun, demi mengurai pikiran-pikiran yang tak jemu menghantui hari-hari sunyi.

No responses yet