Day 12: Sejiwa Sehidup Semati
“Kriteria pasangan hidupmu”
Sejujurnya, aku agak merasa kebingungan, ide pokok apa yang ingin kutuangkan dalam tulisan ini agar dapat menjawab prompt challenge dengan tepat sasaran. Sebagaimana orang kebanyakan, aku juga menginginkan pasangan hidup yang memenuhi ‘basic minimum’, seperti mampu berempati, berkepribadian baik, berkecukupan, bertanggung jawab, perhatian, bijak, penuh kasih sayang, ulet, dan lain-lain. Namun, setelah mencoba menyelami keinginan diri lebih dalam, rupanya aku memiliki beberapa kriteria spesifik yang kuharap ada dalam diri pasangan hidupku kelak.
Dewasa ini, keheningan kerap dikaitkan dengan kebosanan. Ketika dua insan berada dalam ruangan yang sama, tetapi tak satu patah pun kata terucap dari mulut keduanya, tak sedikit pun interaksi tercipta, suasana canggung akan datang melingkupi. Namun, baru-baru ini aku menyadari, kesunyian tak selamanya buruk. Aku menginginkan seseorang yang dapat ‘diajak’ menikmati ketenangan bersama. Aku ingin seseorang dengan ‘frekuensi’ yang sama denganku, dapat membahas banyak hal ngalor-ngidul dengan begitu bebasnya. Akan tetapi, pada waktu tertentu, ketika kami ingin ‘mengisi energi’ di ruang yang sama, kami tetap bisa merasa nyaman tanpa melalui kata, saling memberi ruang aman, dan menorehkan kebebasan.
Selain itu, setiap individu memiliki preferensi dan pandangan unik. Aku percaya manusia diciptakan di dunia ini berpasang-pasangan, tak sekadar berupa cerminan diri, tetapi juga saling melengkapi. Dari sini, aku menarik kesimpulan orang yang akan menghabiskan sisa hidupnya bersamaku kelak tak harus memiliki hobi atau interest yang persis denganku, bahkan jauh berbeda pun tak masalah, asal suatu syarat terpenuhi.
Syarat yang kumaksud adalah kami sama-sama menaruh rasa penasaran dan respect terhadap hobi dan interest masing-masing. Meski sebenarnya tak terlalu menaruh minat pada hal tertentu, aku harap ia mau sedikit demi sedikit mencari tahu tentang apa yang kusuka, sesederhana mengetahui gambaran secara umum, berkenan mendengarkan ceritaku terkait hal tersebut, sesekali menemaniku menjalani hobi, juga turut mencerminkan vibes serupa ketika aku mulai tenggelam di dalamnya. Tak hanya ia yang berbuat demikian, kuharap aku juga bisa memberikan effort dan interest serupa tanpa adanya rasa terpaksa.
Di samping itu, sepanjang perjalanan menorehkan memori, tentunya aku menginginkan seseorang yang mampu diajak melakukan keseruan-keseruan bersama, tanpa melupakan batas yang harus dijaga: tak segan saling mengingatkan menuju kebaikan melalui kata-kata atau tindakan halus dan penuh kasih sayang. Selain itu, kuharap ia merupakan seseorang yang terbuka, tidak merasa paling benar, melainkan mau menerima masukan, memperbaiki kesalahan, dan terus belajar menjadi versi terbaik diri. Dalam prosesnya, kesalahpahaman dan pergolakan emosi tak dapat dielakkan. Dengan kondisi demikian, ia baiknya bisa menahan diri untuk tidak bertindak dan berkata kasar, melainkan dapat meregulasi emosi dengan baik, menghadapi permasalahan dengan kepala dingin.
Terakhir, aku mengharapkan seseorang yang ‘manis’. Kata ‘manis’ dalam hal ini merujuk pada banyak hal. Tak hanya manis secara fisik — dalam artian tak bosan untuk terus dipandang, tetapi juga manis secara tutur kata dan tindakan. Tutur kata yang dimaksud bukan merujuk pada kalimat-kalimat gombal, melainkan tutur kata yang … sebenarnya aku sendiri kesulitan mendefinisikannya dengan kata-kata. Namun, ketika menyaksikan seseorang dengan tutur kata demikian, aku tahu benar bahwa seperti itulah gambaran yang kumaksud. Di sisi lain, tindakan manis bukan berarti harus sesering mungkin memberikan ini dan itu, melainkan sesederhana perlakuan kecil yang terlihat gentle, apalagi perlakuan ‘manis’ yang berbeda dari perlakuan orang kebanyakan.