Day 4: Magnet Beribu Rindu
“Seseorang yang kamu rindukan saat ini”
Sebagai mahasiswa perantauan yang sudah hampir 2 tahun belum pernah kembali menginjakkan kaki di kediaman kedua orang tua — melainkan biasanya orang tuaku yang berkunjung ke kota perantauan, tentu saja sosok yang paling kurindukan adalah kedua orang tuaku, khusunya ibuku. Pertanyaan basa-basi saat masa liburan berakhir yang sering dilontarkan teman-temanku kepadaku adalah, “Min, liburan ga pulang?”. Sepertinya, kini teman-temanku bosan mendengar jawaban yang sudah pasti, kini pertanyaan tersebut menjelma menjadi pertanyaan retoris.
Beberapa bulan terakhir sebelum aku berangkat ke kota perantauan, pagiku selalu disambut gombalan variatif dari ibu. Katanya, ibu memang sengaja agar nanti aku tidak mudah terayu gombalan laki-laki. Aku hanya menganggapnya sebagai candaan, pun dengan ibu yang selalu melontarkan gombalan-gombalan baru setiap harinya dihiasi tawa dan sukacita. Sebenarnya, kala itu aku sama sekali tak berpikir hal tersebut akan berguna bagiku, mengingat sosokku kala itu yang masih takut berinteraksi terlalu banyak dengan makhluk yang disebut laki-laki.
Namun, rupanya saat berkuliah, apalagi memasuki fakultasku sekarang, interaksi dengan laki-laki merupakan hal yang tak bisa dihindari. Jika ibuku tak melakukan hal demikian pada masa itu, ditambah wejangan-wejangan yang tanpa bosan beliau sampaikan padaku, bisa-bisa aku akan menjadi mahasiswi yang mudah terbawa perasaan. Untungnya, hal tersebut tidak terjadi hingga kini. Aku masih bisa membedakan urusan serius dan perasaan pribadi. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri, aku sungguh merindukan gombalan abstrak ibu, tawa renyah ibu, juga ledekan ibu ketika melihat sudut bibirku sedikit terangkat mendengar gombalannya — mengira aku salah tingkah.
Selain itu, karena aku merupakan anak tunggal, ibu selalu mengupayakan segala hal untuk membuatku tak sedikit pun merasa kesepian. Beliau sering bertingkah laku bagai seorang kakak yang begitu mengayomi adiknya, sahabat karib yang amat dekat tanpa rahasia di antara kami, bahkan menjadi sosok adik dengan karakter “menyebalkan”. Aku sangat ingin kembali berinteraksi secara langsung dengan sosok ibu yang selalu mampu memberi kedamaian dan kenyamanan. Aku sudah bosan hanya bisa berinteraksi melalui gawai.
Aku rindu masa-masa ketika aku ingin mulai “menyerah” akibat materi yang harus dipelajari terlalu banyak, lalu ibu datang membawakan sepiring camilan dan segelas minuman hangat. Mendekapku erat sembari membisikkan mantra ajaib yang dengan cepatnya mampu membangkitkan semangatku, mengembalikan rasa percaya diriku. Diiringi elusan lembut di kepala atau punggung, aku bisa merasakan adanya energi positif mengalir ke tubuhku, membuat kobaran api dalam jiwaku yang sebelumnya padam, kini kembali menyala perlahan.
Sayangnya, kini kata-kata semangat hanya dapat dikemas melalui pesan singkat, maksimal disampaikan melalui video call. Rasanya ada yang kurang. Namun, tak seharusnya hal ini membuatku menjadi manusia yang tak tahu bersyukur. Aku harus tetap menghargai setiap waktu yang bisa kulalui bersama ibu meski melalui perantara. Aku harus tetap membuat setiap detik berlalu dengan begitu indahnya, dipenuhi memori paling berkesan yang bisa kuramu bersama ibu.
Meski demikian, saat tulisan ini diketik, aku benar-benar merindukan masakan ibu. Masakan yang katanya dimasak tanpa resep, memadukan bahan apapun yang ada di kulkas, tetapi selalu berhasil menciptakan cita rasa luar biasa lezatnya. Ketika kami dapat kembali bertemu lagi secara langsung kelak, aku akan kembali memeluknya erat-erat. Aku ingin kembali merasakan menjadi “anak kecil” ibu. Pokoknya, aku benar-benar ingin menikmati quality time sembari bermanja-ria bersama ibu, titik!