Kuku Panjang
“Kuku panjang itu sarangnya setan. Jangan dibiarin lama-lama, ya!”
Dahulu, khususnya ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), kalimat tersebut begitu populer. Bahkan, terdapat pemeriksaan seminggu sekali, tepatnya setiap jam pelajaran Pendidikan Jasmani dan Olahraga (PJOK). Apabila didapati seorang murid membiarkan kukunya panjang — apalagi sampai berwarna hitam, guru PJOK-ku akan memukul ‘pelan’ tangan sang anak dengan irama tertentu sembari bernyanyi kecil, “Cantik-cantik kukunya panjang, jang”. Untung laki-laki, kata ‘cantik’ diubah menjadi ‘ganteng’.
Tak jarang, ‘razia kuku panjang’ diadakan tiba-tiba di luar jam pelajaran PJOK. Atas dasar itu, beberapa murid berinisiatif selalu menyimpan gunting kuku di dalam kotak pensil mereka. Tentu saja, ketika rumor razia mulai menyebar di kelas atau ketika terdapat murid yang lupa memotong kuku beberapa saat sebelum jam pelajaran PJOK, murid-murid yang rajin membawa gunting kuku akan secara otomatis ramai dikelilingi. Untuk apa lagi, tentu saja untuk meminjami gunting kuku sebagai alat penyelamat pada masanya.
Awalnya, aku sempat tak percaya dampak membiarkan kuku panjang dalam waktu cukup lama akan seburuk itu, hingga akhirnya aku merasakannya sendiri. Terhitung sekitar empat kali sejak aku memasuki dunia perkuliahan, aku berada pada fase hidup dengan kuku panjang. Tidak, bukan dengan sengaja aku bertindak demikian, melainkan aku tak kunjung dapat menemukan gunting kuku di kamar kosku sehingga aku terus menunda proses pengguntingan kuku.
Sebenarnya, aku bisa saja memtuuskan membeli gunting kuku. Hal inilah yang kulakukan selama beberapa kali. Akibatnya, kini aku memiliki lebih dari tiga gunting kuku di kos. Sayangnya, mereka sering kali kompak menjahiliku, tiba-tiba mengajak bermain petak umpet alias menghilang begitu saja dari pandanganku. Padahal, beberapa hari sebelumnya, aku masih dapat mendeteksi keberadaan mereka tak jauh dari tempatku biasa beraktivitas.
Situasi itu pula yang terjadi padaku beberapa waktu terakhir. Entah mengapa, rasanya mencari jarum pentul di antara cucian kotor jauh lebih mudah dibanding menemukan gunting kuku di sepetak kamar kos yang tak terlalu luas ini. Pada fase ini, aku merasa jauh lebih malas bergerak dibanding biasanya. Menyelesaikan sebuah aktivitas sederhana, apalagi melewati peralihan antaraktivitas terasa lebih menantang. Perasaan ini bak gaya gesek — ya, menghambat pergerakan benda yang sedang melaju.
Awalnya, aku sempat mengira fenomena ini sebagai kebetulan belaka. Namun, saat aku mencoba mengingat beberapa kejadian serupa lain, aku menyadari hal ini seolah membentuk suatu pola. Intinya, semakin panjang kukuku, semakin tinggi pula tingkat kemalasanku. Kemalasan ini tak hanya mencegahku melakukan hal-hal produktif kompleks, seperti menyelesaikan tugas, tetapi juga menggangguku dalam aktivitas harian sederhana, seperti membuatku menunda makan, minu, dan berbagai kegiatan sederhana lain.
Sebaliknya, ketika aku mulai menggunting kuku, rasanya tanganku jauh lebih ringan dan leluasa bergerak, pikiranku pun seolah lebih plong dibanding hari-hari sebelumnya. Tak hanya itu, langkahku menuju kegiatan-kegiatan produktif pun rasanya lebih menyenangkan dengan tantangan yang lebih managable. Dari sini, aku benar-benar berharap semoga gunting kukuku lebih kooperatif ke depannya alias tidak hobi menghilang. Di sisi lain, aku juga berjanji pada diri sendiri agar lebih rutin memperhatikan kukuku dan tak akan bosan menggunting kuku meski kukuku tiba-tiba lebih cepat panjang dari pada hari-hari ‘normal’.