Kusut Menyusut
“Eh, mas, tali sepatunya copot, tuh!” ucap seorang petugas kebersihan yang tengah berpapasan denganku. Sontak mataku yang semula berusaha menembus keramaian beralih pada sepatu cokelatku. Benar saja, tali sepatu kananku tak terikat satu sama lain. Bahaya, gumamku.
Sebenarnya, aku ingin segera membenarkannya sebelum terlambat. Namun, aku tak bisa mendadak berhenti di tengah lautan manusia ini. Bisa-bisa aku terinjak puluhan sepatu dan menjadi Arya penyet. Sungguh tidak lucu. Tidak mungkin ‘kan aku bertemu adik manisku dengan wajah tak karuan?
Kereta akan tiba sekitar 5 menit lagi. Lili — nama adikku — tak henti-hentinya menghujani ponselku dengan belasan pesan sekaligus. Terlihat jelas betapa bersemangatnya ia ingin segera bertemu dan menagih janji dariku. Bukan merupakan hal yang begitu spesial, aku hanya menjanjikannya berkeliling Kota Semarang seharian, sesederhana itu. Namun, janji ini pasti sangat berarti baginya, mengingat 4 tahun sudah ia tak pernah sekali pun menginjakkan kaki di kota kelahirannya.
Hal ini membuatku teringat kejadian pilu sekitar 3.5 tahun lalu. Lili merupakan anak yang begitu periang, supel, juga super percaya diri. Namun, aku tak bisa melupakan raut wajahnya saat akhirnya ia mau mengangkat video call dari orang rumah. Kala itu, genap 3 bulan ia tak pernah bisa dihubungi. Awalnya, aku dan seisi rumah menghela napas lega, sebelum sebuah kebenaran terungkap.
Rambut awut-awutan, air mata menggenang, mata dan hidung memerah, coretan hitam luntur dari bulu matanya yang sepertinya merupakan maskara, pun dengan tampilan layar yang tampak gemetar itu tak dapat hilang dari ingatanku. Ibu berusaha menenangkan Lili dengan rangkaian kata penenang yang disampaikan dengan begitu lembut, pun ayah yang berusaha melontarkan kata-kata manis sembari berusaha memesan makanan dan minuman kesukaan Lili.
Pada saat bersamaan, aku mencoba mengamati keadaan latar belakang tempat Lili berada. Pakaian tak terlipat bertebaran di kasur, bahkan lantai. Sedikit menebak, sepertinya pakaian itu bukanlah pakaian bersih. Tak hanya itu, kudapati beberapa bungkus makanan tersebar di ruangannya, pun dengan buku berserakan. Ini … sungguh bukan sosok “Lili” yang kukenal. Ada apa dengannya?
Meski tak mengobrol langsung selama 3 bulan, aku masih sering memantau media sosialnya, mulai dari Instagram hingga Twitter — bahkan pada akun private-nya sekalipun (hubungan kami sebelum ia merantau memang sedekat itu sehingga aku di-accept saat mencoba mem-follow private account miliknya). Kupikir, informasi-informasi tersebut sudah cukup untuk memastikannya baik-baik saja. Sayangnya aku keliru, rupanya Lili kini lihai menyembunyikan perasaan, tak seperti dahulu yang begitu terbuka bahkan cenderung oversharing.
Pengamatanku akhirnya mendarat pada kejanggalan lain. Aku melihat tangan kiri Lili yang selalu berupaya menutupi dahi kirinya. “Li, dahi kamu kenapa?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja, memotong omongan kedua orang tuaku.
“Hush, pelan-pelan, Ya. Ibu sama bapak lagi ngobrol, lho, ini. Main dipotong aja,” tukas ibu.
“Maaf, Bu,” jawabku.
Untungnya, teguran singkat itu tidak melebar terlalu jauh. Bapak yang juga merasakan keanehan yang sama berusaha mendesak Lili menyingkirkan tangannya dari dahi. Beberapa waktu kemudian, ia akhirnya mau menunjukkan dahinya di depan kamera. Tak butuh waktu lama, tanganku dengan sigap mengambil ponsel, menelusuri daftar kontak untuk menghubungi ibu pemilik kos yang ditempati Lili, tak lagi peduli dengan “jam istirahat”. Ini urgent! ucapku dalam hati.
Untungnya, ibu kos masih terbangun dan berkenan menjawab panggilanku. “Wah selamat malam, Nak Arya. Udah lama ya tidak menghubungi. Ada apa, Nak, malam-malam begini?” tanya ibu kos dari balik telepon.
Berkebalikan dengan detak jantung yang semakin kencang tak karuan, aku berusaha menjelaskan setenang mungkin. Kulihat dari dahi adikku mengucur darah segar yang mengalir perlahan. Jelas saja ia perlu bantuan detik ini juga. Belum sempat mengetahui apa yang terjadi dengan pasti, aku langsung meminta bantuan ibu kos untuk membawa Lili ke rumah sakit.
Sayangnya, kamar Lili terkunci. Ibu kos telah berupaya mengetuk pintu kamar kos dan memanggil namanya, tetapi tak kunjung menerima balasan. Ia enggan membuka pintu, pun dengan panggilan terputus yang membuat kami sekeluarga semakin panik. Cukup membutuhkan waktu lama bagi ibu kos menemukan kunci cadangan. Saat pintu berhasil dibuka, Lili memblokir pintu dengan meja belajarnya. Ia benar-benar mengisolasi diri dari sekitar. Aku mengetahui hal ini karena aku meminta ibu kos untuk melakukan video call.
Dengan penuh kasih sayang, aku berusaha mencari sosok Lili yang dulu kutahu, kucoba menggali kedekatan hubungan adik-kakak di antara kami. Untungnya, akhirnya ia berkenan dilarikan ke rumah sakit. Dengan langkah sempoyongan, sebelum mampu mencapai pintu, ia terjatuh. Dengan sigap ibu kos — dibantu suaminya — menggendong Lili dan mengantarnya ke rumah sakit terdekat.
Tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada kedua orang tuaku, aku langsung memesan tiket kereta dari Semarang menuju kota perantauan Lili. Paginya, aku tiba di kota itu, bergegas memesan ojek online menuju rumah sakit tempat adikku dirawat. Sampai di ruangan rawat inapnya, aku melihat kondisi Lili begitu mengkhawatirkan, sangat mengiris hati. Bisa dibilang, hari itu merupakan titik terendahnya seumur hidup.
Saat ia sadar, tak sepatah pun kata mampu keluar dari mulutku. Aku hanya menatapnya dengan mata sayuku sembari memberikan senyuman terbaik. Tak bisa dipungkiri, aku tak kuasa menahan tangis. Rasanya, air mataku tinggal menunggu waktu sebelum tumpah ruah. Tak kusangka, rupanya ia membalas senyumku. Senyum itu ternyata masih sama, masih “Lili” yang dulu dengan senyuman termanis yang menghiasi wajahnya.
Sedihnya, ia tersenyum sembari menangis. Aku berusaha mengusap air matanya. Namun, air mata itu tak kunjung berhenti mengalir. Mirisnya, ia menangis sambil tetap mempertahankan senyumnya. Sama denganku, tak satupun kata keluar dari mulutnya. Kami menghabiskan lebih dari setengah jam hanya saling berdiam diri sebelum akhirnya seorang petugas masuk ke ruangan membawakan makanan untuk Lili.
Tiga hari berlalu sudah, ia masih bungkam. Begitu pun dengan aku yang belum berani menggali secuil fakta darinya. Aku ingin memberinya ruang ketenangan, biarkan waktu membawa pergi segala keluh kesahnya perlahan. Aku mencoba kembali membangun kepercayaan di antara kami, aku berupaya selalu ada di sisinya, meski hanya dalam keheningan.
Pada hari keempat, sebelum akhirnya ia bisa kembali ke kos, saat aku hendak pergi ke kamar mandi, ia menarik bajuku, memberi sinyal bagiku untuk berhenti sejenak, sepertinya ada hal yang ingin ia sampaikan. Benar saja, kini tangisnya tak lagi pecah. Ia kini jauh lebih tenang dibanding sebelumnya. Dengan nada rendah dan sesekali memberi tatapan dengan sejuta tanya, ia menceritakan segala pilu yang selama ini ia tanggung sendirian.
Jika dilihat dari sisi manusia tanpa empati, permasalahan yang dihadapi Lili memang bukan perkara besar. Namun, yang perlu disoroti adalah transisi hidupnya yang semula penuh kebersamaan bersama aku — sang kakak — dan kedua orang tua, juga sahabat yang amat sangat dekat bak saudara, perlahan-lahan “menghilang” dan menorehkan kekosongan besar dalam dirinya. Hal itulah yang membuatnya merasa tak lagi memiliki tempat aman untuk bercerita sehingga ia mulai memendam segalanya sendiri.
Dari sini, tangisanku tak lagi mampu kubendung. Aku merasa sangat bersalah. Pada masa-masa sulitnya, aku justru disibukkan dengan urusan pekerjaan, tak sedikit pun kusempatkan membalas pesan singkat darinya. Kala itu, aku biasa membalas pesannya sekitar 3 hari sekali. Bisa jadi ia merasa dirinya menggangguku sehingga sejak saat itu chatroom kami semakin sepi. Belum lagi momen tersebut bersamaan dengan ibu dan bapak yang tengah disibukkan dengan kondisi kritis perusahaan keluarga yang hampir bangkrut.
Detik itu juga, pikiranku berkelana ke masa lalu, mencoba menyusuri jejak-jejak kesalahan yang kulakukan. Kucoba melakukan refleksi diri secara cepat, berusaha menemukan cara untuk memperbaiki segala. Ternyata, efek merantau yang dulu orang tuaku takutkan — seperti salah pergaulan dan sebagainya — bukanlah faktor terbesar “perusak” karakter Lili, melainkan aku sendirilah, kakak kandungnya yang menjadi penyusut semangantya, yang membuat hari-harinya tak lagi cerah, yang membuat wajahnya kusut tak berbentuk.
Sejak saat itu, sesibuk apapun diriku, aku berupaya menyempatkan membalas pesan yang dikirimkannya, meski hanya sebatas sticker. Siapa sangka, aksi sederhana ini dapat membuat hubunganku dengan Lili kembali membaik, ia kembali menaruh kepercayaan penuh kepadaku dan kedua orang tua. Ia kembali menjadi sosok Lili yang terbuka, ceria, dan penuh semangat.
“Kak Arya!” teriak Lili. Satu kata darinya membuatku tersadar dari lamunanku. Aku meraih tas-tas yang dibawa Lili. Dengan singkat, tas-tas berat itu kini berpindah dalam genggamanku. Kami berjalan menuju pintu keluar stasiun diiringi gerutu Lili. Ia terus-menerus mengomel karena diriku yang mengabaikan pesannya selama 10 menit terkahir, padahal itu merupakan momen-momen penting pertemuanku dengannya. Ia mondar-mandir sendiri bak anak hilang katanya hahaha, lucu sekali.
Tak apa, aku lebih senang melihatnya cerewet seperti ini dibanding diam beribu bahasa. Semoga Lili akan terus menjadi dirinya sendiri, memancarkan sinarnya sampai kapan pun. Semoga ia tak pernah lelah menjadi sosok yang cerewet dan banyak tingkah. Semoga aku bisa terus menjadi kakak terbaik untuknya.