Lalu Kembali
17 Desember, tepat 2 tahun lalu, merupakan perjumpaan terakhirku dengannya. Samar-samar dalam ingatanku, terekam ekspresi pilu yang ia tunjukkan padaku — memancarkan rasa kecewa yang begitu dalam.
Tak dapat kuingat pasti apa yang terjadi pada hari itu. Yang kutahu, aku sungguh menyesal. Berulang kali kurutuki takdir pada malam itu, menyesali setiap langkah yang kuambil, berharap waktu dapat diputar kembali, barang hanya sedetik.
Sejak saat itu, dalam setiap doa yang kupanjatkan, aku sedikit berharap tak akan lagi berurusan dengannya. Setidaknya, hal itu bisa membuat rasa bersalahku memudar — ya, walaupun cukup berlawanan dengan apa yang kuingin dalam lubuk hatiku.
Namun, takdir berkata lain. Di tengah derasnya hujan yang mengguyur kota ini, ditemani remangnya cahaya lampu jalan, dengan penampilan terlusuh yang pernah kusematkan pada diriku sendiri, hadirnya memberiku sedikit harap.
Ia yang tak kusangka akan kembali datang menghampiri. Ia yang sudah lama tak sedikit pun menghiasi album memoriku. Dengan pandangan kosong, mataku tertuju pada sebuah payung kuning dalam genggamannya — payung bergambar bebek yang sudah kuikhlaskan pergi karena tak kunjung dapat kutemukan setelah seminggu masa pencarian di seluruh sudut kampus.
Tanpa adanya tanya, tanpa sedikit pun ragu, ia berhati-hati membuka payung itu, seolah sedang menggenggam gelas kaca yang begitu rapuh. Seolah tak memedulikan dirinya sendiri yang kuyup, ia memandang lurus padaku, menangkupkan payung sedang itu sepenuhnya padaku. Aku tak mengerti arti tatapannya saat itu, benar-benar tak terbaca. Sungguh berbeda dari tatapan hangat yang selalu ia suguhkan beberapa tahun lalu.
Jika sedikit saja masih tersisa energi dan perasaan dalam diriku, sudah pasti aku akan mengarahkan payung itu kepadanya, perasaan tak enak pasti menyelimuti diriku dengan mudahnya. Namun, hari ini berbeda. Aku sedang ingin tenggelam dalam lautan kesedihan atas kesialan demi kesialan yang menimpaku pada hari ini. Tak perlu kuceritakan, terlalu miris untuk diketahui, aku tak sanggup.
Biar kutebak, 15 menit berlalu sudah. Ia masih berdiri pada titik yang sama, pun aku yang masih bersandar pada sebuah pohon sambil terisak di bawah payung yang ia pegang. Sedetik kucoba menatap matanya, mencoba mencari sebuah arti. Nihil, tak satu pun berhasil kutemukan.
Tersadar bahwa kami mulai saling menatap, ia mencoba menegakkan tubuh tingginya, memberikan gagang payung kepadaku, menunggu beberapa detik hingga gagang itu kini tak lagi berada dalam genggamannya. Sejurus kemudian, aku tak lagi dapat melihat wajah bersejarah itu, hanya sebuah punggung dibalut jaket hitam yang kulihat semakin menjauh.
Menyadari langit yang semakin gelap, aku mencoba bangkit dari segala kekalutanku, berjalan kaki sembari nekat menembus semua genangan yang mengahalangi jalanku menuju kos. Sesampainya di kamar kos, aku tak kuasa melakukan apapun. Kusandarkan tubuhku di balik pintu, tak sadar mulai terduduk, hingga akhirnya aku terlelap.
Saat mulai membuka mata, rupanya suara kokok ayam menyambutku dengan begitu nyaring. Rasanya, seluruh tubuhku sangat linu. Namun, hal itu tak bisa menjadi alasan bagiku untuk tidak menghadiri perkuliahan hari ini. Tak mungkin aku melewatkan ujian dengan bobot sebesar itu. Seolah tak mengingat apa yang terjadi semalam, aku bergegas bersiap diri menuju kampus tercinta.
Bagai mimpi pada siang bolong, hari ini sudah ketiga kalinya aku berpapasan dengannya, membuatku teringat atas kejadian yang menimpaku kemarin. Sungguh memalukan. Beberapa perjumpaan ini sesungguhnya tak berarti apa-apa. Hanya dua insan yang kebetulan melewati jalan yang sama dari arah berlawanan, tak sedikit pun saling melempar pandang maupun sapa, benar-benar terasa asing.
Tak hanya sampai di sana, rupanya misiku menghindarinya tak lagi bisa dilanjutkan. Bagaimana tidak, aku justru dipertemukan dengannya pada beberapa acara yang menuntut kerja sama tim. Aku sungguh membenci rasa asing ini. Sebaliknya, aku berharap semua ini segera berlalu sehingga aku tak perlu lagi berhadapan dengan keterasingan.
Tak terasa, hari kelulusan pun tiba. Bukan kata “selamat” yang keluar dari mulutku saat kami saling berhadapan. Namun, kata “maaf” yang tak pernah berani kuucapkan akhirnya terlontar pada hari berbahagia itu. Bagai sebuah tombol otomatis, senyumnya mengembang dengan begitu manis — sebuah senyum yang sudah lama tak kulihat.
Detik itu, matanya pun turut tersenyum, diiringi rasa asing yang sirna begitu saja. Aku kembali dapat merasakan hangat senyumnya, sebuah perasaan yang jujur saja selalu kurindukan. Tak mau kalah, aku pun melontarkan senyuman yang tak kalah hangatnya, membuat kami seolah kembali pada masa “itu” — masa-masa awal pertemuan aneh kami, pertemuan aneh yang terasa menyenangkan dan menenangkan.
Tak ada kata balasan darinya, ia kemudian berlalu begitu saja menghampiri teman-temannya. Mungkin hanya 3 menit, tetapi interaksi itu benar-benar memiliki makna tersendiri bagiku. Aku tak berharap semuanya akan kembali seperti dahulu, tetapi kuharap rasa asing itu tak akan pernah muncul kembali di antara kami. Ya, semoga.