One Week Friends: Singkat, Berkesan, Selamanya

Enyah Resah
4 min readJan 3, 2024

--

Poster ‘One Week Friends’, from IMDb

Ujian masuk universitas merupakan momok tersendiri bagi pelajar SMA, khususnya pelajar tingkat akhir. Memfokuskan diri melibas habis soal-soal pelajaran menjadi sebuah kewajiban. Namun, jika terus dipaksa kerja rodi, tentu otak akan merasa ‘kepanasan’. Oleh karena itu, diperlukan kegiatan selingan untuk mewarnai masa-masa indah SMA, memberi kenangan berkesan pada masa mendatang. Kenangan ini dapat diciptakan bersama sahabat, sebagaimana jalur yang diambil keempat siswa SMA yang melabeli diri sebagai ‘one week friends’.

Judul film ini mampu menarik atensi warganet saat pertama kali melihatnya, menimbulkan beragam pertanyaan, memicu segudang tebakan dilontarkan. Apakah pertemanan terjadi karena keterbatasan waktu? Apakah terselip ‘udang di balik batu’? Dan berbagai pertanyaan kreatif lain. Tak perlu menunggu hingga akhir film, jawaban pertanyaan sederhana ini mulai terkuak sejak memasuki 1/5 awal durasi film. Meski demikian, singkapan tersebut tak serta merta membuat cerita terkesan membosankan. Sebaliknya, adegan yang disuguhkan justru semakin menimbulkan tanya demi tanya, menggali rasa penasaran penonton lebih dalam.

Belum sempat menarik napas panjang, film ini dibuka dengan sebuah rumor mengejutkan: dunia akan berakhir pada 21 Desember kelak. Rumor ini diceritakan oleh Song Xiao Nan, seorang siswi SMA berambut pendek dengan poni menutupi wajahnya. Sembari berceloteh, teman-temannya duduk menyimak mengitarinya, hingga seorang siswa bertubuh tinggi bernama Xu You Shu yang duduk di pojok belakang kelas merasa terganggu dan melempar bola basket ke arah Xiaonan. Pertengkaran kecil muncul di antara keduanya, dengan susah payah berusaha dilerai oleh teman sebangku Youshu, yaitu Jiang Wu.

Akhirnya, pertengkaran usai saat sang guru datang memperkenalkan seorang siswi pindahan bernama Lin Xiang Zhi. Ia diarahkan duduk di sebuah bangku kosong di sebelah Xiaonan. Titik ini menjadi permulaan terbentuknya persahabatan abadi di antara keempatnya. Tentu ikatan ini tak tercipta dengan begitu mudahnya, ada sebuah juang tanpa lelah yang terus diupayakan Youshu agar dapat menjadi teman Xiangzhi, gemuruh omelan Xiaonan yang tanpa henti bertengkar dengan Youshu, Jiang Wu yang selalu mengekor ke mana pun Youshu pergi, hingga Xiangzhi yang terus-menerus menghindari kata ‘pertemanan’.

Siapa sangka, setiap aksi yang dilakukan setiap tokoh memiliki latar belakang tersendiri. Tak sedikit menyimpan rahasia pelik yang bahkan tak disadari sang pemilik raga. Tak hanya itu, lika-liku ini membawa mereka pada sebuah ujung tak terduga dipenuhi suka duka yang sulit diungkap melalui kata-kata. Canda tawa memang merupakan momen terindah yang didambakan setiap kelompok sahabat, tetapi tanpa adanya rasa sedih, kecewa, dan marah, rasanya suatu pertemanan belum benar-benar lengkap.

Pada pertengahan film, sinematografi yang ditunjukkan menjadi sebuah petunjuk yang mengarahkan pada rahasia-rahasia baru. Namun, bagi beberapa penonton, hal tersebut mungkin dianggap sebagai sisi ‘aestetik’ belaka, tanpa memberi makna berarti. Penampilan alur maju mundur secara beriringan membuat kisah ini semakin dinamis. Penyisipan kilas balik pada momen tertentu dirasa sangat tepat sehingga tidak membuat penonton kebingungan, melainkan semakin penasaran dengan potongan cerita tersembunyi pada masa lalu pemeran film.

Selain cerita yang dibawakan dengan ringan, ada satu hal yang cukup menyita perhatianku, yaitu sebuah ruangan tersembunyi di dalam sekolah. Bagiku yang menghabiskan masa SMA di sebuah sekolah negeri, bukan hal biasa mendapati sebuah sekolah memiliki sebuah observatorium astronomi seperti Bosscha. Hebatnya, sekolah yang diambil sebagai latar belakang film ini menyimpan tempat semenakjubkan itu. Sayangnya, ruangan tersebut cukup tersembunyi dan bisa dibilang kurang terawat sehingga banyak siswa tak mengetahui keberadaannya. Untungnya, memanfaatkan situasi demikian, keempat sejoli memanfaatkannya sebagai markas rahasia pertemuan mereka, termasuk sebagai tempat penyimpan memori dan belajar bersama.

Dari sini aku belajar tak ada rahasia yang abadi. Segalanya akan terkuak pada waktu yang tepat. Terkadang, waktu memang menjadi solusi atas beberapa masalah yang kita miliki, waktu sebagai obat penenang diri dari bekas luka menyedihkan pada masa lampau. Meski demikian, berdamai merupakan jalan yang harus ditempuh. Kita tak bisa terlalu lama berlarut dalam kepedihan. Selain itu, kita juga tak bisa terlalu lama menyembunyikan fakta, baik dari diri sendiri maupun orang lain. Kelak semuanya akan terungkap. Cara dan efek tersingkapnya fakta tersebut dengan baik atau buruk merupakan hasil keputusan yang diambil secara sadar.

Selain itu, hal menarik dari film ini adalah begitu banyaknya rasa ‘suka’ — yang semakin lama bisa berkembang menjadi cinta — yang ditampilkan, mulai dari rasa suka yang telah diketahui ‘seisi sekolah’, tetapi yang dituju justru tak kunjung peka; cinta pada pandang pertama; cinta yang muncul seiring banyaknya waktu yang dilalui bersama; cinta bertepuk sebelah tangan; cinta penuh perjuangan antarsahabat; cinta antara orang tua dan anak; cinta antarsaudara kandung; hingga cinta yang terus ditolak (denial) oleh sang pemilik hati; hingga cinta yang akhirnya disadari bersemayam dalam diri setelah mampu berdamai dengan masa lalu.

Kisah ini menyadarkan diri ada begitu banyak cara dan proses terciptanya sebuah rasa yang kemudian digaungkan sebagai bentuk ‘cinta’. Apapun bentuk dan metodenya, tak ada satu pun insan yang dapat mengetahui dengan pasti akhir dari setiap cerita. Kita sebagai manusia hanya dapat berusaha semaksimal mungkin, serta berharap yang terbaik bagi orang terkasih.

--

--

Enyah Resah
Enyah Resah

Written by Enyah Resah

Tulis, tulis, tulis! Apapun, demi mengurai pikiran-pikiran yang tak jemu menghantui hari-hari sunyi.

No responses yet