Paradise: Permainan Sisa Waktu Hidup
Donor darah merupakan hal biasa dalam masyarakat. Bahkan, tak sedikit pihak menggalakkan kampanye mengajak masyarakat rutin melakukan donor darah. Baik pihak pendonor maupun pihak penerima donor (resipien) akan mendapat manfaat. Lain halnya dengan program donor yang digalakkan suatu perusahaan bernama Aeon. Perusahaan ini memberikan sejumlah uang kepada pendonor sisa waktu hidup (lifetime). Pendonor harus memiliki DNA yang cocok dengan resipien untuk dapat melakukan proses ini.
Program ini secara kasat mata menguntungkan kedua belah pihak, mengingat pendonor — dengan sasaran orang-orang “serba kekurangan” — mendapat uang dalam jumlah besar dan resipien menjadi muda kembali. Ide bisnis ini bermula dari keresahan atas singkatnya usia hidup peneliti dan tokoh penting dunia. Padahal, seharusnya mereka bisa memberikan dampak lebih apabila memiliki kesempatan hidup lebih lama.
Sayangnya, aksi ini mendapat kecaman dari beberapa pihak, khususnya sebuah gerakan yang secara spesifik anti terhadap program yang dijalankan Aeon. Bentuk protes ini dilakukan dengan melakukan demonstrasi di jalan-jalan besar, juga dengan diam-diam menyusup ke perusahaan dan menembaki beberapa resipien secara brutal.
Tak hanya itu, Aeon juga bekerja sama dengan bank menjadikan lifetime peminjam sebagai jaminan. Hingga akhirnya pasangan suami istri Max — karyawan Aeon dengan penghargaan ‘penjualan’ terbanyak — dan istrinya Elena terjebak dalam lingkaran setan ini akibat apartemen mereka terbakar tanpa diketahui pasti akibatnya. Elena — tanpa sepengetahuan Max — rupanya menandatangani kontrak memberikan jaminan mendonorkan 40 tahun sisa usianya kepada Aeon.
Mengetahui hal ini, Max merasa tak terima, 40 tahun bukanlah waktu yang singkat. Ia sangat ingin menggantikan Elena, sayangnya tak ada DNA resipien terdaftar pada perusahaan Aeon cocok dengan DNA miliknya. Ia pun mencoba mendesak Aeon, termasuk bernegosiasi dengan pemimpin perusahaan, yaitu Sophie Theissen, untuk menyelamatkan istrinya. Naas, usaha berbanding terbalik dengan hasil. Keduanya tak berdaya sehingga kini Elena berpenampilan 40 tahun lebih tua dari usia sebenarnya.
Elena tentu merasa insecure dengan konisinya kini. Bahkan, make up tak lagi mampu menutupi kondisi fisiknya, juga ketahanan tubuh yang kian renta bagaikan orang tua pada umumnya. Meski demikian, Max merupakan seorang pria bertanggung jawab, ia dengan tulus tetap mencintai istrinya dan berjanji tak akan meninggalkannya.
Hari demi hari Max lalui untuk mencari cara mengembalikan lifetime istrinya. Hingga ia menemukan cara dengan melakukan operasi “terbalik” dari repisien ke pendonor. Setelah mencari tahu, rupanya resipien Elena adalah sang CEO, Sophie, sehingga Max dengan cekatan merencanakan aksi penculikannya. Namun, Max melakukan kecerobohan besar, hal ini membuat keduanya semakin bimbang.
Kisah mereka terus berlanjut, keduanya tak jarang beradu argumen, pun argumen internal. Perdebatan antara peduli terhadap kemanusiaan dan menuntut keadilan terus menghantui mereka. Segala cara mereka lakukan agar kembali memperoleh keadilan. Perkelahian, kekerasan, dan gencatan senjata pun tak bisa dielakkan dari perjalanan kisah mereka.
Kegelisahan dan keresahan yang tergambar dalam film terlihat begitu natural, pun dengan perkembangan setiap karakter yang ada. Setiap karakter memiliki pemikirannya masing-masing, beberapa di antaranya mengalami transformasi prinsip seiring berjalannya waktu. Meski demikian, alur film ini terasa padu dan tidak terkesan dipaksakan. Setiap adegan saling berkesinambungan dan mampu menggugah rasa penasaran penonton.
Dari film ini, aku belajar untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan, kita harus memitigasi segala risiko yang mungkin terjadi. Tak hanya itu, di dunia kejam ini, bisa jadi kita menemui orang licik yang mampu melakukan apapun — bahkan hal keji sekalipun — demi mencapai tujuannya, kita harus terus berhati-hati.
Di sisi lain, tak ada yang abadi. Tak ada satupun di dunia ini yang dapat dipastikan terjadi. Satu-satunya hal yang pasti terjadi adalah ketidakpastian. Perubahan drastis bisa jadi menimpa seseorang sebagai akibat rangkaian peristiwa yang ia alami. Cinta dan benci bisa berbalik dengan mudahnya, batas di antara keduanya begitu tipis. Hati kecil manusia memang tak bisa berbohong, tetapi aksi lanjutan dan keputusan yang diambil tetaplah bergantung pada individu itu sendiri.