Pelik Derita Pendatang: Review Film Terbaru Kuman Pictures
Keluarga merupakan harta paling berharga. Hidup harmonis bersama keluarga, saling melindungi, berjuang bersama, berbagi tawa dan duka tanpa lekang oleh waktu merupakan dambaan setiap insan. Kemanusiaan dan kehangatan begitu terasa di dalamnya. Namun, ketika kemanusiaan dibenturkan dengan hukum yang berlaku, aspek mana yang akan menang? Akankah kemanusiaan sirna dari jiwa seorang manusia? Akankah si gila harta dan kuasa menjadi jawara?
Mr. Wong atau Seng, seorang kepala keluarga kecil dengan seorang istri dan dua anak, baru saja pindah ke sebuah rumah jauh dari kota. Awalnya, ia menolak menempati rumah tersebut, mengingat sang putra, Bobby, mengidap asma. Letaknya yang terpencil dan ketiadaan transportasi memadai menguatkan argumennya. Namun, apa boleh buat, ia tak lagi memiliki pilihan. Kebijakan yang kini berlaku memaksanya menerima takdir itu.
Kepindahannya dan keluarga dibantu oleh Vincent, seorang district officer wilayah yang mereka tempati. Pada saat bersamaan, mereka diperkenalkan dengan Ho Kar Leong dan timnya, petugas yang bertanggung jawab atas keamanan dan pengaturan sumber daya. Namun, Shang, istri Seng, merasa tidak suka dengan sikap yang Ho tunjukkan. Ia pun meminta sang anak agar terus berwaspada.
Karena rentan terhadap debu, Bobby diminta bermain di luar rumah sembari Seng, Shang, dan putrinya, Yan, membersihkan seisi rumah. Pada kesempatan itu, Bobby menaruh curiga pada suara aneh yang ia dengar dari loteng. Ia memberitahu hal ini kepada keluarganya. Dengan sigap, sang ayah menaiki kursi dan berusaha menakuti makhluk yang ada di dalamnya, menganggap makhluk tersebut sebagai hewan: tikus, kucing, atau bahkan anjing. Akan tetapi, usahanya tak membuahkan hasil, tak ada satu pun hal janggal di sana. Mereka menganggap Bobby hanya membual.
Tanpa mereka sadari, hal tersebut menjadi titik awal perjalanan ‘gila’ yang akan mereka jalani selanjutnya. Saat kemanusiaan dalam diri diragukan, keteguhan hati dipertanyakan, rasionalisasi mulai disingkirkan, di sinilah hukum mulai menjadi angin lalu, seseorang bisa dibutakan kuasa dan ketamakan. Kawan dan ‘lawan’ kini memiliki batas tipis semu. Naluri bertahan hidup diiringi secercah jiwa manusiawi yang berusaha dipertahankan menjadi bekal penyelamat setiap langkah keluarga Seng.
Perjumpaan dengan seorang anak perempuan ras Melayu yang bersembunyi di loteng rumah, saudara teman Yan yang telah lama tak bertemu, juga dengan Auntie Koo — pekerja di pabrik paman Vincent — memberikan makna tersendri. Setiap kejadian berperan besar dalam pengembangan karakter setiap tokoh, terutama Seng yang semula skeptis dengan kondisi selain keluarganya demi mencegah hukuman penjara 25 tahun, kini menjadi pribadi yang berjuang mati-matian menyelamatkan masa depan seorang anak kecil.
Sudut pengambilan gambar, pemilihan lokasi, serta pendalaman emosi setiap tokoh menjadi kombinasi sangat apik dalam mengemas permasalahan berat yang coba disampaikan sang produser film. Konflik demi konflik digambarkan secara bertahap dan natural, membuat emosi penonton bergejolak, turut berempati kepada setiap karakter. Film ini berhasil memantik kesadaran penonton mengenai isu rasisme di sekitar kita, sebuah isu yang tak jarang dianggap sebatas angin lalu, padahal mampu berdampak besar bagi seluruh lapisan masyarakat.
Dari film ini aku belajar untuk berempati kepada orang lain, mencoba tidak egois, tetapi tetap berpikir rasional. Selain itu, pada situasi genting dan mendesak, begitu penting memiliki kemampuan mengobservasi situasi dan mengambil keputusan dengan cepat, serta bertindak aktif dan bekerja sama secara kooperatif. Di sisi lain, kita tidak dapat membaca masa depan sehingga berbuat baik merupakan hal yang perlu dipertahankan. Kita tidak tahu siapa yang akan menjadi penolong kita pada masa depan, khususnya ketika kita dilanda suatu kesulitan tak terduga.