Pentas Seni Petaka

Enyah Resah
4 min readJan 3, 2024

--

Lautan Manusia Dalam Pentas Seni, from Unsplash

Hari ini pentas seni sekolah berlangsung. SMA X memiliki sedikit budaya berbeda dibanding pentas seni SMA pada umumnya. Tak sekadar menampilkan bakat-bakat seni para siswa, sederet booth makanan dan buah karya, serta pementasan yang paling ditunggu-tunggu dari para guest star, acara ini dijadikan ajang pemberian apresiasi kepada siswa-siswi yang berhasil menorehkan prestasi, baik dalam bidang akademik maupun nonakademik. Kegiatan ini dilangsungkan pada pagi hari. Oleh karenanya, acara ini baru dibuka untuk umum pada siang hari.

Sayangnya, tak seluruh mata acara berjalan mulus. Hal ini bermula pada didapatnya sebuah SMS ancaman yang diterima ketua pelaksana pentas seni. Ancaman tersebut tidak ditujukan pada massa yang hadir, melainkan spesifik pada ruang aset sekolah. Tak ingin membuat kegaduhan, ia menginfokan hal ini kepada beberapa panitia terpercaya melalui personal chat. Belum sempat berkoordinasi dengan pihak sekolah, sebuah keanehan terjadi. Waktu seolah terhenti, penari pengisi pentas seni menghentikan gerakannya melayang di udara. Hanya sejumlah orang yang masih memiliki kesadaran penuh mampu bergerak seperti biasa.

Tiba-tiba, muncul asap abu-abu pekat dari tengah lapangan, pun beberapa benda seperti peluru beterbangan mengejar orang-orang yang masih tersadar. Semua orang berhamburan mencari tempat perlindungan, hingga akhirnya mereka terkepung, seolah diarahkan pada sebuah ruangan di pojok sekolah — ruang penyimpanan aset berharga sekolah. Peluru-peluru tersebut berhenti mengejar, tetapi bergerak perlahan mengepung mereka yang kini tepat berada di depan pintu. Tak memiliki banyak pilihan, sang ketua OSIS pemegang kunci berinisiatif membuka pintu ruangan dan mempersilakan anggota-anggotanya masuk, memberi isyarat agar berhati-hati dalam bergerak.

Peluru tersebut tak ikut masuk ke dalam ruangan. Setelah anggota terakhir memasuki ruangan, pintu ditutup, meninggalkan pandangan hitam pekat dalam kegelapan dilingkupi kesunyian. Tak berselang lama, mereka menghirup aroma masakan yang biasa ditemui di kantin sekolah. Merasa tak curiga, tetapi sedikit keheranan, tak satu pun dari mereka berinisiatif menutup rongga pernapasan dan membendung aroma tersebut masuk ke dalamnya. Sayangnya, gas tersebut sepertinya telah disisipi obat tidur sehingga satu per satu kehilangan kesadaran.

Waktu menunjukkan pukul 2. Setidaknya demikian yang tertera pada jam tangan milik seorang gadis berkepang dua. Ia dan teman-temannya terbangun di sebuah jalan tol sepi. Seperti jalan tol pada umumnya, jalan ini diapit sebuah sawah di sisi kiri dan sebuah gunung menjulang tinggi di sisi kanan. Sejauh mata memandang, tak sedikit pun ditemui tanda-tanda kehidupan. Di sana hanya terdapat rombongan siswa SMA X dan sebuah mobil travel. Tentu saja mobil tersebut seharusnya tak dapat menampung mereka semua, mereka berpencar mengobservasi sekeliling, mencoba mencari petunjuk.

Di tengah pencarian, salah seorang siswa berjaket hitam menemukan buah kelapa menggelinding ke arahnya. Dipungutnya kelapa itu dan dibawanya kepada teman-teman. Semua orang berkumpul, tak sabar mengobati sedikit dahaga dengan air kelapa segar. Sayangnya, hal tersebut hanya angan belaka. Saat hendak dibuka, kelapa tersebut ‘melompat’, memunculkan sebuah mata merah menyala dengan lidah terjulur, menampilkan ekspresi menyeramkan. Mengetahui hal ini, sang ketua OSIS memasuki mobil travel, memberi instruksi kepada teman-temannya untuk masuk di dalamnya, memaksa agar semua orang dapat tertampung, meski harus berdesak-desakan.

Sang pengemudi mulai menginjak gas, tak sedikit pun menolehkan kepala ke belakang. Mirisnya, kelapa tersebut ternyata hanyalah sebuah permulaan. Kini muncul puluhan bahkan mungkin ratusan atau ribuan kelapa mengejar mereka. Tak sedikit kelapa meloncat dan menabrakkan diri ke jendela travel, termasuk jendela bagian depan, menghalangi arah pandang sang pengemudi melihat jalan. Situasi ini meningkatkan kepanikan siswa dan siswi, menimbulkan pekikan melengking di mana-mana.

Hingga akhirnya mereka menemui sebuah persimpangan jalan. Sang pengemudi meminta saran dari seorang siswa yang duduk di sebelahnya. Tak butuh waktu lama untuk mendapat jawaban, mereka kini melaju pada jalur kiri, berbelok membelah hutan di sisi kanan dan kiri. Syukurnya, kelapa-kelapa tersebut menghilang seolah ditelan terpaan angin. Mereka bernapas lega, saling memeluk satu sama lain, menampilkan sebuah senyum bahagia.

Merasa aman setelah menempuh sekitar setengah jam perjalanan, sang pengemudi menghentikan laju mobil travel. Seluruh penumpang berhamburan keluar, merenggangkan anggota tubuh yang rasanya begitu kaku setelah hampir sejam berdesakan di dalam mobil travel berkapasitas kecil. Hampir tak ada seorang pun yang membuka obrolan, semua orang sibuk dengan pikiran masing-masing, berusaha menenangkan dan mengistirahatkan diri.

Saat salah seorang siswa ber-hoodie biru langit ingin merebahkan diri di atas aspal, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal punggungnya. Sontak ia pun kembali pada posisi awal — duduk, mencoba melihat barang aneh yang mengganggunya. Rupanya barang tersebut merupakan 3 buah mobil mainan. Melihat keanehan ini, ia mulai membuka mulut, meminta seluruh temannya berkumpul. Dalam posisi berdiri melingkari penemu mobil yang meletakkan ketiga mobil tersebut di atas kedua tangannya, keheningan kini terpecahkan, semua orang berlomba-lomba menerka ‘misteri’ di baliknya.

Karena diterpa angin yang cukup kencang, salah satu mobil mainan tersebut terlempar lumayan jauh. Siapa sangka, rupanya mobil tersebut menjelma menjadi mobil sungguhan. Salah satu siswi berani mencoba memasuki mobil, memeriksa keajaiban yang baru saja terjadi. Tak lama kemudian, ia keluar sembari mengacungkan ibu jarinya, memberi isyarat tak ditemukan hal-hal mencurigakan di dalamnya.

Bersamaan dengan itu, langit cerah berubah menjadi gelap. Angin yang semula menerpa ringan, kini mengamuk membawa dedaunan menampar siapa pun yang dilewatinya. Merasa terancam, sang siswa ber-hoodie biru melempar sisa mobil mainan yang masih berada dalam genggamannya, ia memasitkan keduanya jatuh di ruang kosong dengan jarak tak berdekatan. Tak berhenti di sana, hujan deras mengguyur jalanan itu, membuat seluruh siswa tersebar memasuki mobil-mobil yang baru saja berubah ukuran.

Baru hendak menghela sedikit napas lega, dari kejauhan muncul bayangan berjalan dengan bentuk aneh. Rupanya, muncul segerombol monster mengerikan dari sisi kanan, kiri, dan depan. Hanya sisi belakang yang terlihat aman dilalui. Sang ketua OSIS kembali mengambil inisiatif menginstruksikan teman-temannya berbalik arah. Hal ini memang berisiko, mengingat jalur sebelumnya dipenuhi kepala-kepala berkedok buah kelapa. Namun, apa boleh buat, hanya itu opsi satu-satunya yang dapat diambil.

Belum sempat mengetahui kelanjutan mimpi ini, aku terbangun dari tidurku. Sebenarnya, mimpi ini tak kudapatkan dalam sekali tidur. Aku sempat beberapa kali terbangun, tetapi karena jarum jam masih menunjukkan malam hari, aku memutuskan menyambung tidurku. Ajaibnya, aku kembali memimpikan hal yang sama, cerita ini masih berlanjut. Meski demikian, aku tetap belum bisa menyaksikan ending mimpi absurd ini.

--

--

Enyah Resah
Enyah Resah

Written by Enyah Resah

Tulis, tulis, tulis! Apapun, demi mengurai pikiran-pikiran yang tak jemu menghantui hari-hari sunyi.

No responses yet