Pustaka Asing

Enyah Resah
7 min readDec 17, 2023

--

Perpustakaan Kuno, from Unsplash

Catatan: Cerita ini ditulis sekitar 3.5 tahun lalu. Adanya kesamaan nama bukanlah suatu kesengajaan.

Rongga dadaku membesar, bahuku terangkat, berusaha menarik napas dalam. Debu yang berkolaborasi dengan aroma buku kuno kini mengisi rongga hidungku.

Sejak setahun yang lalu, perpustakaan tak lagi menjadi surga bagiku. Namun, di sinilah aku, berdiri di antara rak buku di dalam tempat yang paling kubenci.

Entah apa yang telah dilalui Bu Daisy pagi ini hingga ia sangat marah padaku. Suasana hatinya benar-benar jungkir balik. Aku hanya lupa membawa penghapus dan mencoba meminjamnya dari teman sekelas yang duduk di belakangku.

Ia sangat tega menuduhku berbuat hal yang bahkan sama sekali tak pernah terpikirkan sebelumnya. Yup! Apalagi jika bukan menyontek. Sungguh, aku sama sekali tak ingin dan tak akan terlibat dalam hal itu.

Tanpa memberiku kesempatan membela diri, ia tak segan-segan mengusirku dari kelas dengan nada melengking yang tak pernah keluar dari mulutnya. Aneh, aku dapat merasakan sesuatu yang janggal.

Ditambah lagi, ia sendiri yang mengantarku menuju perpustakaan sebagai hukuman. Memangnya kapan aku pernah melanggar perkataan guru? Bisa-bisanya ia berpikir bahwa aku akan melarikan diri dari hukuman. Perlu digarisbawahi, aku bukanlah seorang pengecut, meski sebenarnya aku masih tak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini.

Sangat mengherankan. Untuk apa ia menyuruh penjaga perpustakaan meninggalkan ruangan ini? Aku cukup lihai melakukan observasi, dari rautnya saja, penjaga perpustakaan itu jelas terlihat keberatan dengan apa yang diminta Bu Daisy. Namun apa boleh buat, sistem di sekolah ini membuatnya harus mematuhi apa yang guru itu katakan.

Bruk!

“Ah ….” Aku terlalu larut melamunkan apa yang telah menimpaku hingga aku tak menyadari, ada sebuah buku tergeletak yang baru saja berciuman dengan ujung sepatuku. Ya, aku tersandung. Untung saja kali ini keseimbanganku dapat diajak bekerja sama, aku tak perlu repot-repot membersihkan rok yang kuyakini akan penuh dengan debu-debu dari lantai seandainya aku jatuh tersungkur.

Aku tak tahu ini buku apa, tulisannya terlihat asing bagiku. Yang jelas, aku perlu mengembalikannya ke tempat yang seharusnya.

“Sastra asing, sastra asing,” gumamku sembari berkeliling mencari rak bertuliskan hal itu.

Sudah tiga kali aku menghampiri setiap sudut di ruangan ini. Anehnya, aku tak menemukan apa yang kucari. Padahal aku sangat yakin, kumpulan buku sastra asing berada di deretan atas salah satu rak di sekitar sini.

Oh iya, aku belum memberi tahumu, ya, mengenai hukuman dari Bu Daisy? Ia memintaku membantu tugas penjaga perpustakaan. Belum sempat bertanya apa yang harus kulakukan, ia sudah lebih dulu berbincang dan mengajak penjaga itu pergi. Ya sudah, bukan salahku jika aku memilih berkelana sembari memutar memori kenangan masa lalu.

“Ah, ketemu!” Lega sekali rasanya. Ada-ada saja ya gejolak masa remaja, hatiku merasa dipenuhi bunga dengan kupu-kupu berterbangan di dalam perutku. Padahal aku hanya menemukan hal yang sangat sepele.

Pantas saja tak kunjung kutemukan, dari tadi aku hanya fokus pada deretan rak atas. Ternyata, tulisannya sudah pindah ke deretan tengah, posisi raknya juga dipindahkan ke bagian paling belakang perpustakaan.

Lokasi ini jarang dijamah murid-murid sekolahku, kurang strategis. Selain lampu penerangan yang tak sampai alias redup, buku bacaannya pun terkesan membosankan dan ketinggalan zaman. Mana mau anak muda generasiku menyentuh buku-buku ini.

Jangankan membaca, kurasa, mereka juga tak akan tertarik sedikit pun. Kecuali dia, salah satu puzzle dalam hidupku yang saat kehilangannya begitu mengiris hati. Aku masih tak terima, tetapi tak berdaya. Ya, mau tak mau pasrah menerima keadaan. Apalah artiku dalam kasusnya, polisi tak akan percaya dengan bocah ingusan sepertiku.

Lagi-lagi aku melamun. Dia tak akan menyukai ini. Huh, aku sedikit merindukannya. Tak menunggu lama lagi, aku langsung meletakkan buku yang kubawa secara asal.

Tiba-tiba, sebuah tangan muncul menggenggam tanganku yang masih memegang ujung buku. Aku tertegun. Itu tangan yang sama, tangan remuk yang kulihat setahun lalu saat koran di atas tubuhnya tersingkap angin.

Meski hanya melihatnya sekilas dari sela-sela kerumunan murid di belakang garis polisi, aku tetap saja tak kuasa menahan perasaan ingin memeluknya untuk terakhir kali. Namun tak apa, tak perlu panik, aku bukan tipe remaja yang suka memancing keributan, aku bisa menahan diri. Tetap tersenyum dan menyembunyikan beribu luka atas kepergiannya.

Tunggu sebentar, tangan remuk? Aku mengerjapkan mata beberapa kali, tangan itu masih sama, utuh, sempurna. Bahkan aku dapat melihat tanda lahir di pergelangan tangannya. Sama sepertiku, yang selalu kusembunyikan dibalik kemeja berlengan panjang milikku.

Kutundukkan sedikit kepalaku, mencoba mengintip sosok di balik rak ini. Sebenarnya aku ragu dengan tindakanku sendiri, tetapi tak apa, ini lebih baik dibanding terjebak dengan rasa penasaran yang akan menghantuiku malam nanti.

Aku menangkap sepasang mata merah berbalik menatapku. Kelopak matanya sayu, seharusnya aku takut melihat pemandangan yang kini kusaksikan. Namun, aku tak kuasa melihat tatapannya yang sarat akan makna.

Krek!

Tangan sempurna yang tadi menggenggamku refleks kujauhi. Aku terlonjak kecil, tangannya hancur, persis seperti apa yang kulihat setahun lalu. Perlahan, tangan itu terjulur mendekat, membuatku mundur beberapa langkah tanpa mengalihkan pandangan.

Sungguh menyebalkan, aku kehabisan langkah. Punggungku sudah menempel dengan rak buku lain. Tak peduli dengan buku-buku yang terjatuh karena ulahku, aku berlari menuju pintu keluar perpustakaan dengan tetap menoleh ke belakang. Berjaga-jaga jika saja tangan itu mengejarku.

Dugaanku salah, langkahku terhenti, mulutku terbuka cukup lebar. Segera setelahnya, kuangkat kedua telapak tanganku untuk menutup mulut ini. Tangan itu terjatuh ke lantai, t-t-tangan itu p-putus, menyisakan bagian siku hingga telapak tangan.

Orang sekeji apa yang tega melakukan ini padamu? Aku bahkan tak dapat membayangkan betapa pedihnya rasa sakit yang harus engkau tahan sebelum jiwamu terpisah dari raga. Tangan yang biasa mengelus kepalaku saat aku kesulitan untuk terlelap, tangan yang selalu menggenggam tanganku dan menyalurkan dukungan saat aku terjatuh, kini hancur tak berbentuk. Dadaku terasa sesak.

Angin berhembus kencang, membuatku teringat pada tujuan awal, keluar dari ruangan ini. Sedetik setelah kupalingkan pandanganku, tangan itu kini menghilang, buku-buku yang kujatuhkan pun sudah kembali ke tempat asalnya. Aku curiga bahwa sebenarnya aku hanya berhalusinasi.

Namun aku tak peduli, saat ini kulihat sosoknya di depan pintu, tersenyum manis ke arahku. Perlahan, aku berjalan mendekatinya hingga aku dapat kembali menatap mata cokelat yang menenangkan itu, aku rindu.

Save me,” bisiknya. Aku mendengarnya dengan jelas, suara ini berasal darinya sebelum sosok itu lenyap.

“Apa yang sedang kamu lakukan, Clara? Sudah menyelesaikan hukuman?” tanya Bu Daisy yang entah sejak kapan berdiri di depan pintu sembari memandangiku dengan tatapan mencurigakan.

Aku tersenyum kecil, berharap dapat mencairkan suasana yang terasa begitu menegangkan. “Bukankah Anda menminta saya untuk membantu penjaga perpustakaan?”

Ia menatapku sekilas. “Benar. Lalu?”

“Tetapi, Anda sendiri yang mengajak penjaga perpustakaan itu keluar. Tidak ada ‘lalu’. Saya sudah menjaga perpustakaan sampai bel pulang berbunyi. Kurasa itu sudah cukup, bukan?” Aku bahkan tak tahu kalimat apa yang barusan kulontarkan.

Drrt … Drrt … Drrt ….

Ada suara ponsel bergetar. Meski mengetahui bahwa ponselku tak mendapat pemberitahuan apapun, secara spontan tanganku bergerak merogoh kantong untuk memeriksanya.

Tanpa basa-basi, Bu Daisy pergi menjauh dari tempatku berpijak. Ia tak sadar telah menjatuhkan sesuatu dari kantong jaketnya yang besar itu, hamster saja mungkin cukup masuk di dalamnya.

Aku melihat benda itu sekilas dari ekor mataku. Pura-pura tidak tahu, aku bergegas masuk ke dalam perpustakaan. Bersiap diri di dekat jendela, melihat situasi dan kondisi di luar sana. Sepertinya pembicaraan Bu Daisy dengan sang penelepon sangatlah rahasia hingga ia memilih tempat yang sangat jauh, menghilang di persimpangan dekat kantin.

Ini saat yang tepat. Sembari meregangkan tubuh dan menoleh ke kanan dan ke kiri, aku mencoba membaca situasi, aman. Sesuatu itu ternyata adalah buku kecil, tampak seperti buku harian. Kutendang benda itu masuk ke dalam perpustakaan.

Kembali masuk ke ruangan pengap ini, aku mengambil buku yang baru saja bergesekan dengan lantai, menyisakan beberapa debu di bawahnya. Kupindai kata demi kata, berusaha memahami apa yang tertulis di dalamnya.

Aku benar-benar tak percaya, ini sungguh gila. Kulakukan hal yang sama untuk mengembalikan buku ini ke tempat semula, tempat ia dijatuhkan. Ya, cukup kutendang dari dalam perpustakaan. Beruntung urusan Bu Daisy dengan si penelepon masih belum selesai, batang hidungnya sama sekali tak terdeteksi olehku.

Ada rasa penyesalan karena telah menutup telinga dari peringatan yang diberikan tetanggaku yang telah kehilangan kewarasannya. Ia menjadi gila karena menjadi satu-satunya orang dalam kelompok bermainnya yang tak diterima di perguruan tinggi favorit.

Kukira dia hanya mengada-ada. Kakak pun percaya akan hal ini. Bisa-bisanya aku menutup mata akan semua kejanggalan ini. Ternyata benar, Bu Daisy melakukan sebuah ritual untuk menambah kecantikannya setiap tahun.

Dalam hal ini, ia membutuhkan salah satu anak kembar berumur 17 tahun sebagai tumbal. Sungguh mengerikan, ulang tahunku hanya berselang satu minggu dari hari ini.

It’s your turn, my twinnie.” Bisikan itu kembali datang.

J-jangan bilang k-kalau kak Brian tertangkap basah saat melakukan pencarian permata di area sekolah? Permata yang menjadi kelemahan ‘ritual kecantikan’ Bu Daisy. “Iya.” Lagi, bisikan itu kembali terdengar.

Namun, tunggu sebentar, ada sesuatu yang janggal. Dari mana Bu Daisy mendapat informasi bahwa aku dan Brian adalah anak kembar? Padahal data setiap warga sekolah ini dijaga begitu ketat dan hanya bisa diakses beberapa orang.

Bu Daisy tak termasuk ke dalam daftar itu, seharusnya ia tidak mengetahui fakta ini. Brian mengikuti program akselerasi saat SMP sehingga ia berada satu tingkat di atasku saat SMA. Kami pun bukan kembar identik, wajah kami sangatlah berbeda, anggota keluarga besar kami sendiri yang telah mengakuinya.

Kami memang cukup dekat, tetapi sama sekali tak ada yang mencurigai bahwa kami memiliki hubungan darah. Justru pernah beredar rumor yang menyatakan bahwa kami menjalani kisah kasih percintaan anak remaja alias pacaran.

Tunggu-tunggu. Jangan-jangan kesalahan setahun lalu yang dimaksud dalam buku tadi adalah penumbalan Brian. Ia mengira bahwa Brian telah genap berusia 17 tahun. Pantas saja, setahun terakhir ini ia digosipkan memiliki banyak kerutan di wajahnya.

Rupanya ritualnya gagal. Karena kecerobohannya, kakakku juga harus menanggung akibatnya, ia terjebak dalam lorong waktu. Tak bisa dengan nyaman berada di tempat yang seharusnya.

Aku harus segera menemukan permata yang ia tanam di salah satu tempat di sekolah ini. Aku yakin, semesta pasti membantuku mengungkap semua kebenaran ini. Setidaknya, mengakhiri penderitaan kakakku, serta menyelamatkan Rana dan Rini, si kembar di angkatan bawah.

Namun, firasatku mengatakan benda terkutuk itu tersimpan di tempat yang jarang didatangi murid sekolah ini. Yup! Di bagian belakang perpus tempatku menemukan deretan buku sastra asing. Namun, bagaimana caraku menemukannya, ya?

Angin berhembus perlahan, menggelitik tengkuk, membuat bulu romaku berdiri tegak. “Show me that you’re brave enough to survive, my Clara. Good luck.” Kata-kata itu seolah menghipnotis, memberiku ketenangan dan menyalurkan semangat untuk memulai aksi pencarianku.

--

--

Enyah Resah
Enyah Resah

Written by Enyah Resah

Tulis, tulis, tulis! Apapun, demi mengurai pikiran-pikiran yang tak jemu menghantui hari-hari sunyi.

No responses yet