Sandra Dara

Enyah Resah
2 min readFeb 6, 2024

--

Seekor Burung Dara, from Unsplash

Tempo hari lalu, di bawah langit mendung sore hari, aku berjalan kaki seorang diri. Menyusuri jalanan Bandung menuju beberapa lokasi. Karena merasa sudah cukup lama tidak berjalan dengan tujuan sebanyak itu, aku ingin kembali mencoba kebiasaan lama yang perlahan kutinggalkan: berjalan cepat. Dengan penuh percaya diri, aku melangkahkan kaki dengan mantap menuju tujuan pertamaku, sekitar 800 m dari kos.

Di tengah jalan, tempo cepat yang mulai kunikmati terpaksa harus kuhentikan — lebih tepatnya, menurunkan sedikit kecepatan. Hal ini kulakukan karena aku melihat seekor burung dara ‘melompat-lompat kecil’ tepat di hadapanku. Aku takut jika aku berjalan terlalu cepat, ia akan terkejut. Tidak lucu bukan jika aku menjadi topik perbincangan hangat dirinya dengan sanak keluarga?

Tak ingin mengganggu, aku memperlambat langkahku, memperhatikannya secara saksama. Entah mengapa, pandanganku seolah tersandra sang burung dara, membuat fokusku seutuhnya terpusat padanya. Ia mulai mengepakkan sayap dan mencoba terbang. Baru saja melakukan kurang dari lima kepakan, ia kembali mendarat. Dari sini, perhatianku semakin tersita.

Lagi-lagi, pada percobaan kedua, ia mengulangi kejadian yang sama persis. Aku mulai penasaran, apakah sayapnya terluka sehingga ia kesulitan terbang? Atau, apakah tubuhnya tidak baik-baik saja? Pikiranku mulai berputar, mempertimbangkan pilihan A-Z, apa yang sebaiknya kulakukan dalam kondisi ini? Bagaimana cara tepat agar aku bisa menyalurkan empatiku dengan bijak?

Di tengah kontemplasi itu, sang burung dara kembali mencoba terbang. Ia tak putus asa, semangatnya kian meninggi. Betapa bahagianya diriku saat aku melihatnya terbang semakin tinggi, mengudara cukup lama hingga ia hilang dari pandanganku. Tanpa sadar, senyumanku muncul. Aku turut merasakan sukacita dalam diriku, merasa ada dorongan unik yang membuatku merasa berbunga-bunga.

Dari sini, alam seolah menamparku. Aku yang sempat memiliki keinginan besar ‘mundur’ dari mimpiku tak seharusnya berpikir demikian. Segalanya perlu proses. Gagal pada percobaan pertama bukan berarti tak akan pernah mencapai garis finish. Waktu merupakan teman terbaik. Kegigihan harus selalu hidup membara dalam diriku, sebagaimana sang burung dara tak bosan-bosan mencoba kembali terbang mengudara sebagaimana mestinya.

Memang terkesan sangat sepele, bahkan hal ini pastinya sudah tak asing muncul di beranda media sosial, menampilkan ilustrasi singkat betapa berharganya kegagalan yang kita alami, memunculkan sosok motivator dengan segala kalimat membaranya, serta membawakan ajakan untuk tetap berpegang teguh pada prinsip dan impian. Namun, ‘ditampar’ langsung di depan mata rasanya jauh berbeda.

Tidak, aku tidak merasa berkecil hati. Sebaliknya, justru aku merasa ‘tertantang’ untuk kembali on track pada jalur yang pernah kurancang sebelumnya. Mungkin memang yang kubutuhkan saat ini adalah waktu dan dedikasi. Aku harus sepenuhnya memusatkan fokusku pada mimpi itu, mengupayakan hal-hal terbaik demi ketercapaiannya. Aamiin.

Go, go, ayo bisa! Semangat!

--

--

Enyah Resah
Enyah Resah

Written by Enyah Resah

Tulis, tulis, tulis! Apapun, demi mengurai pikiran-pikiran yang tak jemu menghantui hari-hari sunyi.

No responses yet