Semata Wayang
Manja, sebuah pandangan yang hampir tak pernah luput dari seorang anak tunggal. Katanya, anak semata wayang cenderung tak bisa melakukan segalanya seorang diri, sangat jauh dari kata mandiri. Padahal, sebagai anak satu-satunya dalam keluarga, tentu saja anak tersebut akan menjadi satu-satunya fokus sang orang tua.
Mungkin karena memiliki rasa takut berlebih terjadi hal buruk pada sang anak, para orang tua cenderung membatasi segala langkah yang diambil putra-putri mereka. Kalaupun memutuskan memberikan kebebasan pada sang buah hati, mereka cenderung melakukan monitoring tanpa henti. Keputusan ini tepat bagi sebagian anak, tidak untuk sebagian lain.
Metode ini tentu saja dapat menjauhkan anak dari marabahaya, kegelapan yang tak jarang menyelimuti dunia kejam ini. Namun, tak ada satupun hal di dunia tanpa celah. Tak jarang, yang terjadi justru sebaliknya. Anak-anak menjadi penasaran dengan dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya, dimensi yang belum pernah mereka masuki.
Rasa penasaran ini mendorong mereka mencari tahu seorang diri, melakukan apapun demi menuntaskan segala tanya. Jika bertemu orang yang tepat, beribu pertanyaan dapat diselesaikan tanpa harus terjun secara langsung, tanpa harus ‘mengotori’ tangan sendiri. Namun, apabila sebaliknya, segala rencana yang telah orang tua susun bagi putra-putri semata wayang mereka mungkin hanyalah omong kosong.
Kepercayaan adalah kunci. Tak hanya bagi anak tunggal, melainkan bagi setiap anak di dunia ini. Dengan kepercayaan, disertai ketulusan untuk menjaga kepercayaan tersebut, diiringi komunikasi berkala yang dipenuhi kehangatan dan kepala dingin, niscaya batu permata tak akan kehilangan nilainya, bulan tak perlu kehilangan cahayanya. Dengan kata lain, seorang anak dapat membanggakan orang tua mereka, tanpa merasa terkekang.
Saat sang anak telah mendapat kepercayaan, juga cinta dan kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya, ia akan cenderung merefleksikan hal serupa dengan apa yang diterima. Ia tak akan segan menyebarkan kasih sayang dan kebahagian di lingkungan sekitarnya, pun mengalah pada mereka yang bisa jadi sering diminta menomorduakan kepentingan pribadinya saat di lingkungan rumah — jangan lupa, anak tunggal tak perlu mengalah pada sosok kakak ataupun adik.
Di sisi lain, keputusan memberi kebebasan yang dilakukan pada pertengahan jalan, pada transisi antara peraturan dan kelonggaran, pastilah terdapat lonjakan kejutan bagi sang anak. Ia mungkin merasa kebingungan pada awalnya, mencoba hal-hal yang sebelumnya tak pernah dilakukan seorang diri.
Dari yang semula tak perlu menyiapkan makanan sendiri, hingga kini ia pun harus merencanakan dan mengeksekusi menu untuk kesehariannya. Dari yang semula tak perlu memikirkan cucian menumpuk, juga menyapu dan mengepel semata-mata demi kepuasan pribadi melihat lantai kotor menjadi licin, kini berubah menjadi sebuah kewajiban, tanggung jawab yang tak dapat dilepaskan sesuka hati.
Apalagi jika hal tersebut terjadi karena adanya jarak — sang anak yang kini tinggal jauh dari orang tuanya, merantau di negeri orang dengan segala kebaruannya, pastilah jiwa mandiri akan bangkit dengan sendiri — baik secara terpaksa maupun sukarela. Sebagai anak semata wayang— yang dahulu begitu benci dengan sentuhan, ibuku sempat terkejut ketika aku meminta peluk pada pertemuan pertama kami setelah sekian lama.
Menumpahkan segala lelah dan penat dalam pelukan ibu rasanya begitu melegakan, rasa yang sebelumnya belum pernah kurasakan — karena penolakan dan dinding tinggi yang kubuat sendiri. Sayangnya, hal tersebut tidak bisa dilakukan setiap hari, melainkan hanya pada momen tertentu saja, biarkan waktu yang menyimpan segala rencana.
Jadi, anak tunggal bukan berarti tak mampu mandiri; anak tengah, pertama, atau terakhir bukan berarti tak lebih manja dari anak semata wayang. Segala persepsi tak bisa disamaratakan, setiap individu memiliki keunikan masing-masing. Bukan tugas kita sebagai manusia memberi cap pada manusia lain hanya karena latar belakang khusus.