Siapa Tahu, Tahu Siapa?
“Tinggal lima puluh ribu …. Setidaknya aku harus survive sampai gajian akhir minggu nanti. Mending beli apa, ya?” tanya seorang pemuda ber-hoodie kuning muda yang tengah meratapi saldo mirisnya dari layar ponsel. Ia sedang menimbang-nimbang, mempertanyakan apakah ia perlu ‘meminjam’ uang dari tabungannya sendiri.
Setelah menunggu beberapa saat, ia tak kunjung mendapat jawaban. Sontak ia menolehkan kepala ke sisi kanan dan terkejut. Wah, aku ditinggal ga bilang-bilang? ucap Ucup — nama pemuda itu — dalam hati.
Awalnya, ia pergi ke tempat kuliner di belakang kampus bersama sahabat dekatnya, Tafa. Ia benar-benar yakin dirinya masih bersisian dengan Tafa saat mereka memutuskan berhenti di sebelah plang bertuliskan ‘Kawasan Kuliner Pasar Lawas’ sembari melihat-lihat kios yang berpotensi mereka datangi: menjual makanan mengenyangkan, tidak terlalu ramai, juga tidak membuat dompet anak kos meringis.
Mengingat persahabatan yang telah terjalin selama lebih dari 10 tahun, Ucup enggan memusingkan kepergian sahabatnya. Ia mencoba berpikir positif, siapa tahu Tafa tiba-tiba memiliki kepentingan mendesak dan tidak sempat mengabari dirinya.
Sejurus kemudian, ia melangkahkan kaki memasuki kawasan kuliner, meyusuri trotoar penuh lubang sembari mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri, berharap menemukan hidden gem penyelamat kanker — kantong kering — akhir bulan. Tanpa sadar, ia telah berjalan selama 10 menit dan tiba di ujung jalan. Sayangnya, ia belum kunjung menemukan tempat menarik untuk didatangi.
Meong, meong, meong. Suara kucing terdengar samar-samar dari sebuah gang, membuyarkan lamunan Ucup. Sebagai pecinta kucing dengan lebih dari 10 kucing di rumahnya, tentu hatinya tergerak mencari sumber suara. Benar saja, ia menemukan seekor anak kucing berbulu telon sedang berlari ke sana kemari mengejar bola benang rajut. Lucu sekali, puji Ucup dalam hati.
“Mau pesen apa, Kak?” tanya seorang pegawai suatu tempat makan dengan celemek biru tua melingkari tubuhnya. Rupanya, Ucup terlalu asyik memandangi sang kucing lucu sehingga ia tidak menyadari dirinya berdiri di depan sebuah kios dengan produk unik yang dijualnya. “Niger, ya …, menarik”, gumam Ucup.
Pegawai berambut pendek bergelombang mendengar gumaman Ucup. “Iya, Kak. Niger, kepanjangannya Nasi Burger. Unik, kan?” tanya sang pegawai.
“Eh, oh. Iya, Kak. Unik banget, menarik. Pasti viral, ya, Kak?” timpal Ucup sembari mengacungkan kedua jempol tangannya.
Membaca nama produk tersebut, Ucup teringat dengan sahabatnya. Ia kemudian merogoh kantong kanan celananya untuk mengambil ponsel. Dengan cepat ia membuka salah satu aplikasi chatting. Tidak membutuhkan waktu lama, ia telah membuka chatroom-nya dengan Tafa — iya, Ucup menyematkan chatroom Tafa agar mudah ditemukan sewaktu-waktu.
Dengan lihai jari-jemarinya mengetik huruf demi huruf, mengabari penemuan uniknya diiringi nada bercanda. Tidak lupa, agar tidak dianggap membual, ia menyertakan foto sebagai bukti. Selain itu, ia juga menawari Tafa untuk membawakannya sebuah Niger.
“Jadi, gimana, Kak? Mau pesen berapa?” tanya sang pegawai kembali, menyadarkan Ucup yang tengah asyik menatap layar ponselnya.
“Dua aja, Kak. Satu dibungkus, satunya lagi makan di sini, ya,” jawab Ucup.
Setelah menyelesaikan pembayaran, Ucup bergegas menuju salah satu kursi. Sebagai mahasiswa yang tertarik dengan bisnis, pikirannya diserbu sejuta pertanyaan. Nama produknya unik, tapi kok ga rame, ya? Apa ini efek lokasinya di dalem gang alias belum banyak orang tau? Untung atau rugi, ya, dagang di area yang keliatannya kurang strategis ini? Butuh modal berapa, ya, biar aku bisa punya usaha semacam ini?
Lima menit berlalu, pesanan Ucup belum tiba. Ia memutuskan membuka laptop untuk mencicil tugas pemrogramannya. Sayangnya, belum ada lima menit, ia mulai frustrasi dengan banyaknya error yang ia dapati. Ia kemudian meletakkan siku tangan kanannya di atas meja, menopang kepalanya dengan tangan tersebut menghadap ke arah tembok.
Ternyata, ada sebuah kemasan mika berisi tahu bulat dengan manis tersaji di meja sebelahnya. Wow, masih utuh. Bahkan, segelnya aja belum dibuka. Orang kaya mana, ya, yang tega meninggalkan makanan semenggiurkan ini sembarangan? Tahu siapa, sih, ini? By the way, unik juga ya packaging-nya. Kreatif benget si pedagang kepikiran dobrak pasar dengan model packaging kaya gitu.
Lamunan Ucup dipecahkan sebuah tepukan di bahunya. Setelah membalikkan badan, ia mendapati seorang pria berusia sekitar 30 tahun tersenyum ke arahnya. Sang pria membuka percakapan, “Halo! Sorry ganggu, boleh minta tolong ambilin tahu di sebelahmu?”.
Tanpa basa-basi, Ucup mengangkat tahu yang dimaksud. Rupanya, di balik kemasan mika tersebut terdapat sebuah kartu mahasiswa S2 atas nama Bondan Pratama. “Eh, ada KTM — Kartu Tanda Mahasiswa — saya, ya?” celetuk sang pria.
“Iya, Pak. Ini punya Bapak? Pak Bondan?” lontar Ucup sembari menyerahkan sebungkus tahu dan KTM.
Sang pria berkemeja cokelat dengan penuh semangat mengambil KTM dari tangan Ucup dan bergegas berjalan menjauh sembari memasukkan KTM ke dalam dompetnya. “Betul. Untung banget ketemu di sini. Syukur, deh. Makasih, ya!”
Belum sempat membalas ucapan terima kasih, Ucup segera mengejar Pak Bondan yang kini berada tepat di pintu keluar kios. “Eh, Pak. Ini tahunya ketinggalan,” ujar Ucup sembari menyerahkan sebungkus tahu.
“Oh, ga papa. Tahunya buat kamu aja, itung-itung ucapan terima kasih,” balas Pak Bondan sembari melirik ke layar laptop terbuka milik Ucup. “Wah, kamu bisa ngoding? Kebetulan perusahaan tempat saya kerja lagi ada lowongan. Kalo kamu minat, mampir aja ke akun LinkedIn ini, ya.” Pak Bondan menyerahkan sebuah kartu nama kepada Ucup.
Ucup mengikuti arah pandangan Pak Bondan. Siapa sangka, layar laptop yang menampilkan beberapa pesan error justru membawa Ucup pada sebuah kesempatan emas. Kebetulan, masa magang Ucup berakhir bulan ini, jadi mengapa tidak?
Ucup memandangi kartu nama yang diberikan Pak Bondan sembari berjalan menyusuri lorong kampus. Ia tidak menyadari kehadiran Tafa yang kini berjalan bersisian dengannya. Tafa berdeham beberapa kali, memberi kode kepada Ucup agar menoleh ke sebelah kiri. Sayangnya, Ucup terlalu fokus dengan ratusan pertanyaan yang berputar dalam kepalanya.
Tidak tahan dengan keheningan di tengah keduanya, Tafa akhirnya bersuara, “Eits, kartu nama siapa, tuh. Serius banget natapnya.”
Ucup melompat kecil dan menghentikan langkahnya, membuat Tafa ikut berhenti. “Kaya hantu aja, sih, muncul tiba-tiba. Datang tak dijemput, pulang tak diantar,” celoteh Ucup dengan nada datar.
“Heh, kamu kira aku jelangkung apa.” Tafa mendengkus kesal, mempercepat langkahnya bergerak maju.
“Eh, eh, aku bercanda. Santai, dong!” seru Ucup sambil berusaha menyamai langkah Tafa—mahasiswa tinggi bak tiang listrik dengan perbedaan tinggi hampir 15 cm dari Ucup. Tidak, bukan Ucup yang pendek, hanya saja Tafa yang terlalu tinggi — tingginya mencapai 187 cm.
“Aku ga marah. Sans aja. Cuma laper, kamu di-chat ga bales-bales, sih,” jelas Tafa.
Ucup mengeluarkan sebungkus Niger dari tasnya. “Hehe, sorry-sorry. Nih, aku bawain penemuan unik dari Pasar Lawas. Harga kaki lima, rasa bintang lima, juara!”
Senyum Tafa mengembang. “Memang sohibku satu ini ga ada duanya masalah kuliner. Jadi, jus mangga dua?”
“Yoi. Tempat biasa, ya?”
“Gas!”
Sejak berkuliah, mereka memiliki kebiasaan baru: saling mentraktir. Jika Ucup membelikan makanan, Tafa akan membelikan minuman, pun sebaliknya. Sebenarnya, hal ini mereka lakukan demi kepraktisan mengantre. Saat jam makan siang, antrean kantin di kampus mereka sangat membludak di luar nalar. Alhasil, jalur itulah yang mereka tempuh demi mampu memenangkan pertempuran makan siang.
Setibanya Ucup di ‘tempat biasa’, ia mengeluarkan ponsel, lalu membuka kolom pencarian LinkedIn dan mengetikkan username yang tercantum pada kartu nama. Ia mencoba memperhatikan persyaratan yang dibutuhkan, pun beberapa postingan lain yang menunjukkan citra perusahaan. Sejujurnya, lowongan yang dibuka sangat menarik perhatian Ucup. Hanya saja, ia memiliki beberapa pertimbangan yang mencegah langkahnya mendaftar.
“Jus mangga less sugar less ice datang!” sahut Tafa sembari menyodorkan segelas jus mangga dan mencari posisi nyaman duduk di sebelah Ucup.
Ucup segera mengambil gelas tersebut sembari menyeruput jus mangga di dalamnya. “Nuhun, Taf!” seru Ucup.
“Aman aja. Jadi, gimana? Ada cerita apa di balik kartu nama itu sampai seisi dunia kamu abaiin?” Tafa mulai menginterogasi.
Tanpa sedikit pun menutupi kenyataan, Ucup mulai bercerita, Tafa menyimak dengan khidmat sambil menikmati sebungkus Niger diselingi hidangan tahu bulat. Di tengah ceritanya, Ucup juga menceritakan kegelisahan yang menahannya melamar kerja. “Kamu tau, kan, aku mau mulai berhenti dari segala hal berbau pemrograman dan belok ke jalur lain? Di sisi lain, kesempatan ini belum tentu dateng dua kali.”
Tafa memahami kekhawatiran sahabatnya. “Iya, aku ngerti. By the way, aku mau mastiin dulu. Kamu mutusin berhenti karena memang keinginanmu sendiri atau karena perkataan ayahmu hari itu?”
Sorot kemarahan tidak bisa disembunyikan dari kedua mata Ucup. “Aku ga bakat ngoding, Taf. Buat apa dilanjut?”
“Yakin itu kata hatimu?” tanya Tafa berusaha menggali kebenaran.
Ucup terdiam beribu bahasa. Sebenarnya, ia pun meragu. Perkataan ayahnya tempo hari lalu benar-benar mengubah pandangan Ucup terhadap kemampuannya di dunia pemrograman. Ia sungguh merasa kecil hati.
“Ga bisa jawab, kan? Berarti opsi kedua?” tukas Tafa.
Sembari memandang layar ponselnya, Ucup menjawab, “Bisa jadi.”
Tafa menggeser bungkus tahu bulat yang hanya tersisa tiga buah ke depannya, membuat pandangan Ucup mengikuti pergerakan tangan Tafa. Belum sempat memprotes, Tafa menyembur Ucup dengan 1001 fakta. “Kamu ga bisa gini terus, Cup. Kemampuanmu ga didefinisiin sama apa kata orang lain, termasuk orang terdekatmu sekali pun. Aku tau banget gimana usahamu selama ini, ngelawan dirimu sendiri demi menguasai coding. Jujur, konsistensi dan keteguhan hatimu patut diacungi jempol!
“Aku kecewa pas kamu bilang mau berhenti. Awalnya, aku coba memvalidasi perasaanmu, berusaha ga ikut campur terlalu jauh, aku menghargai keputusanmu. Lama-lama, aku merasa ada yang ga beres. Kamu jadi terlalu rendah diri, cepet banget nyerah. Kamu juga sering menyia-nyiakan kesempatan demi kesempatan yang dateng ke arahmu. Ini bukan kamu banget, Cup. Ke mana Ucup yang penuh semangat membara?”
“Tapi, kan —”. Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Tafa kembali menyela.
“Wait, dengerin dulu. Bukan tanpa alesan kamu ketemu kucing itu, bukan kebetulan belaka kamu nemu Kios Niger dan ketemu Pak Bondan. Itu namanya takdir, Cup. Ga nutup kemungkinan ini jadi jawaban atas kegelisahanmu selama ini. Ga usah jauh-jauh, tahu bulat ini buktinya.” Tafa mengangkat sebutir tahu bulat dan melayangkannya ke dalam mulutnya.
“Masih inget, kan, semalem ada tukang tahu bulat lewat depan kos kita? Kemarin aku ngajak kamu beli itu, tapi kamu nolak karena merasa harus berhemat. Ternyata, siang ini kamu dapet tahu bulat dari Pak Bondan. Maksudku, rezeki ga bakal ke mana, Cup. Kalo itu memang buat kamu, ya, rezeki itu bakal nemuin sejuta cara untuk bergerak ke arahmu.
“Sama halnya dengan tawaran Pak Bondan. Beliau tergerak ngeliat layar laptopmu dan mutusin nawarin kamu kesempatan itu bukan tanpa alasan. Pasti ada sesuatu yang beliau liat dari dirimu. Jangan minder, Cup. Siapa tau ini memang jalanmu,” sambung Tafa.
Rasanya, Ucup kehilangan kata-kata. Semua ucapan Tafa tidak sanggup ia sangkal. Tafa benar, siapa tahu ini memang garis takdir yang harus Ucup tempuh.
“Yah, kok malah bengong? Aku udah ngomong panjang kali lebar sama dengan luas, lho. Sebagai sohibmu, kecewa, sih, Cup,” ujar Tafa yang hendak mengambil sebuah tahu bulat dari bungkus mika.
Menghiraukan perkataan terakhir Tafa, Ucup menggeser bungkus mika kembali ke bagian tengah meja di antara dirinya dan Tafa. Hal ini tentu menggagalkan rencana Tafa melahap tahu bulat. “Nuhun, Taf. Kamu bijak banget, aku setuju sama semua perkataanmu. Aku salut, tapi jangan kamu embat semua, dong, tahu bulatnya. Bagi-bagi sini!”
“Itung-itung pajak wejangan,” canda Tafa. Gelak tawa kemudian menghiasi interaksi keduanya, kembali mencairkan suasana yang sempat menegang.