Terpaut Takut
Semalam, aku asyik menggulir beranda media sosialku, tepatnya pada platform Instagram. Tiba-tiba, mataku terpaut pada sebuah postingan dengan highlight kuning terang, menyita atensiku begitu saja. Yup! Postingan yang kumaksud hanya berisi sebuah foto sederhana, sebagaimana terlihat pada foto di atas. Postingan ini diunggah akun dengan username @incomefact. Sederhana, tetapi bagiku, maknanya cukup dalam.
Takut merupakan perasaan tidak nyaman. Ketika ia datang menghampiri, berbagai rasa turut menyelimuti diri, membuat situasi semakin pelik. Terkadang, permasalahan sederhana menjadi tampak membingungkan dengan adanya rasa tersebut. Rasa ini bagaikan monster raksasa yang akan dengan sigap menerkam segala rasa percaya diri dan keberanian tanpa tersisa, menggerogotinya perlahan saat sang empu tak menyadarinya.
Di sisi lain, rasa takut dapat menjadi bahan bakar bagi sebagian orang: menjadi motivasi terbesar dalam meraih impian. Rasa ini pun hadir dalam sebuah ‘keajaiban’ the power of kepepet. Seseorang merasa takut dan tertekan atas sempitnya waktu tersisa, seseorang merasa takut atas kegagalan. Oleh karena itu, mereka terdorong mengupayakan semampu mereka dalam waktu sangat terbatas. Hasilnya bisa dikatakan baik ataupun buruk, tergantung bagaimana perencanaan, persiapan, dan progress yang telah disiapkan sebelumnya.
Hal ini sangat sesuai dengan kutipan di atas. Ketika menghadapi suatu hal yang menimbulkan ketakutan — tak jarang merupakan suatu ‘permasalahan’, kita sebagai individu secara umum memiliki dua opsi: forget everything and run (melarikan diri dari masalah, menganggap seolah tak terjadi apa-apa) atau face everything and rise (menghadapi permasalahan secara bijak, mencoba mencari jalan keluar dengan menyelesaikannya).
Pada dasarnya, keduanya sama-sama berusaha mengeluarkan diri dari jebakan rasa takut. Bedanya, opsi pertama hanya berlaku sementara waktu: mengubur masalah sedalam mungkin. Kelak, pada waktu tertentu, rasa itu akan kembali datang menghantui, bahkan mungkin menimbulkan sensasi semakin mengerikan. Tak ada satu pun hal yang mampu dikubur selamanya, suatu saat ia akan muncul ke permukaan. Pilihan ini hanya akan membentuk bom waktu, menunggu saat ‘tepat’ untuk meledak.
Sebaliknya, opsi kedua memang memerlukan usaha ekstra di awal, mencoba memahami situasi dan kondisi, menilai segala aspek yang ada, mencari celah peluang yang masih bisa dioptimalkan, serta memitigasi risiko yang masih mungkin terjadi. Namun, opsi ini lebih menguntungkan dibanding opsi pertama karena hasil akhir pilihan ini adalah ‘berdamai dengannya’. Dengan demikian, hati akan merasa tenang, bahkan banyak pelajaran yang bisa dipetik, menjadi pribadi semakin kuat, tahan banting, serta semakin cekatan menyelesaikan masalah.
Secara naluriah, dari sepengamatanku, manusia memiliki kecenderungan besar memilih opsi pertama. Bagaimana tidak, otak manusia akan selalu mencari ‘jalan pintas’ demi mendapat kesenangan. Ketika mendapat rasa takut berkaitan erat dengan emosi negatif, otak akan mencoba cara termudah meninggalkan rasa tersebut menuju kesenangan — bahkan kesenangan sesaat sekali pun. Alhasil, pengalaman dan kesadaran diri seseoranglah yang menjadi dasar pengambilan keputusan di antara dua opsi tersebut.
Meski demikian, ketika seseorang pada awalnya memilih satu opsi tertentu, bukan berarti opsi lain tak tersentuh sedikit pun. Bisa jadi ada seseorang yang tanpa sadar lari dari masalah yang menghadangnya. Namun, saat ia telah menyadari tindakannya, ia segera mencari pertolongan dan berusaha menghadapi masalah tersebut, menemukan solusi paling tepat, efektif, dan efisien.
Begitupun sebaliknya, bisa jadi ada pula sekelompok orang yang awalnya memutuskan menghadapi suatu permasalahan. Akan tetapi, karena masalah tersebut justru terkesan semakin rumit, ia justru memutuskan menyerah lebih awal sebelum solusi jangka panjang benar-benar ditemukan. Hal ini sangat disayangkan karena tak menutup kemungkinan ia akan mampu berdamai dengan kondisi tersebut sepenuhnya hanya dengan satu langkah kecil.
Dari sini aku semakin sadar rasa takut awalnya hadir tanpa bisa disangka. Ia hadir karena desakan situasi dan kondisi eksternal, sesuatu yang tak dapat dikendalikan. Namun, selanjutnya, bagaimana cara kita menyikapinya merupakan keputusan sadar kita sepenuhnya. Oleh karena itu, ya, aku setuju dengan kalimat terakhir foto di atas:
The choice is yours.