Trauma Menggema

Enyah Resah
2 min readFeb 3, 2024

--

Seseorang di balik topeng, from Unsplash

Trauma bukanlah rasa yang diundang dengan sengaja. Sang pemilik rasa kerap kali mengupayakan segala hal demi mengusirnya secara permanen. Sayangnya, yang terjadi justru berkebalikan dari harapan. Rasa ini semakin tumbuh mengakar kuat dalam diri, semakin sulit dihilangkan. Bahkan, rasa ini seolah ‘terawat’ dengan begitu ‘baik’, tanpa sadar terus diberi makan dengan kecemasan dan ketakutan yang hadir dalam diri seseorang.

Aku bukanlah seorang pakar psikolog, aku hanyalah seorang manusia biasa yang juga pernah mengalami trauma — rasa yang bahkan tak kusadari bersemayam dalam diri sejak lama. Jangankan berusaha mengenyahkannya, menyadari keberadaannya saja tidak. Lantas, bagaimana aku sanggup memberantasnya? Sedihnya, rasa ini rupanya merupakan akar masalah datangnya kerikil-kerikil kecil hingga badai dahsyat dalam hari-hariku kala itu.

Sejak mampu mengendus aroma keterpurukan dari rasa trauma ini, aku mencoba mencari tahu lebih dalam, mencoba menjadi lebih peka. Ternyata, trauma tak hanya muncul karena kejadian ‘negatif’, melainkan juga bisa dipicu kejadian ‘positif’. Pada awalnya, aku mengernyitkan dahi saat membaca fakta ini, sangat tak disangka, cukup berseberangan dengan apa yang selama ini orang-orang bicarakan. Selama ini, pengalaman traumatis selalu dikaitkan dengan hal-hal buruk, sesuatu yang coba dihindari banyak orang.

Perlahan, kucoba menyusuri kisah hidupku ke belakang, mencari benang merah dari segala, mencoba menerka dari mana titik awal hadirnya rasa ini. Mirisnya, rasa ini sudah lama kupendam seorang diri. Pikiran dan tubuhku terus terkoyak karenanya sedikit demi sedikit. Jahatnya aku, aku sering mengabaikan ‘mereka’, menganggap semuanya baik-baik saja. Hal ini berakhir hingga suatu insiden terjadi, ketika bom waktu akhirnya meledak.

Dahulu, kukira keberanian dan kepercayaan diri merupakan kunci agar dapat keluar dari lingkaran trauma. Namun, nyatanya dugaanku kala itu tak 100% benar. Langkah paling awal yang harus dilakukan adalah ‘mengobrol’ dengan diri sendiri, mengenali diri lebih dalam, menggali segala rasa yang pernah singgah dalam diri. Sayangnya, tanpa sadar aku justru menghindari tahap krusial ini, aku seolah enggan ‘mendekati’ diriku sendiri, aku tak ingin menyelami masa lalu.

Tak kalah penting, kunci utama mengalahkan trauma adalah berdamai. Sebuah kesalahan menganggap rasa ini dapat dikubur begitu saja. Timbunan di atasnya akan terkikis seiring berjalannya waktu, kembali memunculkan rasa itu tanpa tahu malu, tanpa permisi, tanpa aba-aba. Akibatnya, menjalani hidup terasa jauh lebih berat dibanding sebelumnya, seolah awan hitam menyelimuti sekeliling.

Mungkin terdengar berlebihan, tetapi beginilah faktanya. Lebih tepatnya, perasaan yang kurasakan saat itu: begitu pelik, bahkan aku sendiri merasa tak yakin mampu menghadapinya. Hingga kini, aku tak tahu apakah trauma-trauma itu berhasil kutuntaskan sepenuhnya atau masih terdapat sisa-sisa rasa yang tertinggal. Sejujurnya, aku takut menghadapi semester genap ini. Namun, semoga saja, hal-hal baik terjadi pada semester ini. Aku harus menjadi lebih berani.

Dear trauma, aku gak takut. Aku punya Allah SWT!

--

--

Enyah Resah
Enyah Resah

Written by Enyah Resah

Tulis, tulis, tulis! Apapun, demi mengurai pikiran-pikiran yang tak jemu menghantui hari-hari sunyi.

No responses yet