Ulur Lebur
Menunda tak seharusnya dijadikan hobi. Mengulur waktu tak sepantasnya mendarah daging. Mempermainkan janji tak sewajarnya dijadikan angin lalu. Ya, memang sebaiknya demikian. Namun, kenyataannya, waktu bagaikan pisau bermata dua.
Sebagian orang lihai mengendalikan waktu, dapat memaksimalkan seluruh energi dan emosinya untuk mengisi setiap detik dengan hal bermanfaat — hal-hal yang mampu mendekatkan dirinya pada segala impian, membawanya perlahan menuju kebaikan. Sebagian lainnya terus bergulat dengan waktu, merasa dikejar dan dituntut berbuat A, B, dan C, tanpa hasil yang jelas.
Tak jarang, ada pula mereka yang seolah menghiraukan waktu, menganggapnya bagai angin lalu, dan tetap berhasil menggenggam apa yang diingin, mengendalikan diri dan hidupnya tanpa celah. Jangan-jangan, selama ini kita terlalu fokus pada variabel yang salah. Jangan-jangan, bukan waktu yang menjadi dalang dari segala.
Bukan waktu yang selama ini diperjuangkan. Bukan waktu yang selama ini menjadi masalah beberapa orang. Bukan waktu yang menjadi penghalang mencapai sesuatu, melainkan prioritas. Mereka yang benar-benar memahami prioritas kegiatan bagi dirinya akan dapat menghargai waktu. Tak hanya menanamkan konsep menghargai dalam pikiran, tetapi juga menjiwainya sepenuh jiwa dan raga.
Mereka yang dapat menempatkan prioritas sebagaimana seharusnya, mereka yang tak serakah ingin melakukan banyak hal dalam satu waktu, mereka yang mampu fokus atas satu hal penting, akan dapat menguasai waktu, berhasil mengendalikan waktu seutuhnya. Sebenarnya, apa, sih, hal yang perlu ditakutkan?
Distraksi-distraksi yang kerapkali mengganggu apakah benar-benar nyata? Atau hal tersebut hanyalah fana? Sebuah ilusi belaka yang dicipta pikiran untuk menyabotase diri sendiri? Berujung pada penyesalan yang terus berulang tanpa bosan.
Menunda itu ‘menyenangkan’. Ya, sementara saja. Sesaat, manusia bisa berleha-leha melakukan apa yang diingin, melakukan hal-hal ringan yang digemari otak, melakukan hal-hal menyenangkan yang dapat memicu produksi dopamin. Tak disadari, resah gelisah mulai bersemayam dalam diri, apalagi mendekat pada tenggat waktu.
Apakah kebiasaan menunda merupakan sebuah ‘penyakit’? Ya, bisa saja. Setiap orang bisa memiliki persepsi beragam terhadap hal tersebut. Yang pasti, sifat itu harus segera dienyahkan, setidaknya sebelum hal tersebut menghancurkan dunia yang dikejar, usaha yang sedang dibangun.
Namun, tak semudah itu. Menekan atau bahkan menghilangkan kebiasaan ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Ya, sebenarnya bisa saja diibaratkan sebaliknya — telapak tangan raksasa maksudnya, alias sama-sama sulit tanpa usaha maksimal. Komitmen bukanlah hal yang mudah. Padahal, ia merupakan kunci mengundang kebiasaan baik untuk menjadi cekatan dan mengusir mundur kebiasaan mengulur waktu.
Andai komitmen dapat dibeli — entah dengan uang atau ganjaran tertentu, sudah pasti orang-orang berbondong-bondong memilikinya. Bahkan, bisa-bisa komitmen menjadi hal langka di ‘pasaran’. Ya, andai saja. Sayangnya, dunia bukan tempat berandai-andai, melainkan tempat beraksi, menorehkan aksi-aksi nyata, membuahkan hasil yang dapat disaksikan semua insan — atau setidaknya dapat dinikmati prosesnya.
Dengan demikian, tak benar-benar ada cara saklek untuk secara ajaib menghilangkan kebiasaan buruk itu dalam semalam. Mengulur waktu sama saja meleburkan tujuan-tujuan kecil yang ingin dicapai. Jika terus dibiarkan, hal ini bisa memperlambat kita menuju mimpi-mimpi besar.
Lagi, lagi, dan lagi, semuanya perlu waktu, segalanya perlu komitmen. Tanpa trial and error, apalah arti segala. Tak semua saran di internet atau tips yang keluar dari mulut tokoh-tokoh inspiratif dapat ditelan bulat-bulat. Manusia itu kompleks, banyak variabel yang dapat mempengaruhi segala. Semuanya perlu dicoba untuk membuktikan kebenarannya.
Dari sekian banyaknya percobaan, semoga saja ada yang cocok. Harus. Pasti bisa. Yakinkan diri, jalani saja dulu.